Nostalgia Penyiar Lawas TVRI
FeatureNewsHot
Redaktur: Crypto Hermawan

Desain: Heni Apriani

Jakarta, tvrijakartanews - Dari masa ke masa, TVRI memiliki program berita unggulan yang disiarkan secara prime time. Di antaranya Program Dunia Dalam Berita atau dikenal dengan singkatan DDB hingga Klik Indonesia.

Dunia Dalam Berita ini merupakan program berita yang sudah mulai tayang sejak 1978, sedangkan Klik Indonesia merupakan transformasi program berita utama TVRI yang sudah tayang circa 1960-an. Klik Indonesia ini terbagi dengan jam tayang empat hari sekali, yakni pagi, siang, sore, dan malam.

Namun, tahukan Anda siapa saja pembaca berita TVRI dari masa ke masa? Kami akan mengajak Anda untuk bernostalgia dengan para penyiar andalan TVRI era tahun 80an

1. Henny Ratam

Perempuan kelahiran 1954 ini mengawali karirnya sebagai marketing selepas lulus sekolah menengah atas (SMA). Namun, siapa sangka dengan pekerjaannya yang jauh dari broadcasting, Henny Ratam bisa menapaki karirnya di Radio Republik Indonesia (RRI) Bandung pada 1978, sebagai penyiar untuk siaran luar negeri.

Selama enam tahun di RRI, Henny lantas ditarik ke TVRI untuk menjadi pembaca berita tanpa meninggalkan statusnya sebagai penyiar radio.

"Saya aktif terus di TVRI, tapi RRI-nya enggak saya tinggalin. Kan kalau RRI kan (siaranya) pagi sampai siang. Dan saya hanya kontrol, terus siaran sebentar," ucap Henny saat berbincang dengan tvrijakartanews.com di Depok, Jawa Barat, Agustus 2024.

Menurut Henny, proses menjadi pembaca berita di TVRI tak mudah lantaran harus melalui sejumlah tahap hingga harus berkompetisi dengan ratusan calon penyiar.

Henny bahkan harus menghadapi penguji yang berasal dari penyiar legendaris TVRI, yakni Toeti Adhitama dan Sumita Tobing yang juga mantan Direktur Utama TVRI. Meski begitu, Henny pun dinyatakan lolos karena memang sudah memiliki karakter suara yang khas sejak dini.

"Waduh, strik nih. Tesnya berat. Tapi dari situlah, saya banyak belajar dan Alhamdulillah saya masuk juga dari sekian banyak (kandidat) itu," kenang Henny.

"Memang cukup berat lho kalau jadi penyiar berita. Untuk *anchor news* itu beda, karakter di kamera. Dia harus kuat juga spontanitasnya. Kalau visualisasi ada yang enggak sesuai, tapi spontanitasnya kita ini kan harus baik," tambah dia, mengingatkan.

Selama berkarir di TVRI, Henny pernah menjadi pembaca berita untuk program berita pagi, siang, sore dan malam serta program Dunia Dalam Berita. Selain itu, Henny bersama penyiar senior TVRI sekaligus pencipta lagu, Sambas Mangundikarta juga pernah menjadi pembawa acara program "Kolempencapir" atau biasa disebut dengan Kelompok Pendengar Pembaca dan Pemirsa.

Program Kolempencapir ini pertama kali digagas oleh mendiang politikus Golkar Harmoko yang saat itu menjabat sebagai Menteri Penerangan (1983-1997). Program ini menyajikan kegiatan pertemuan para petani dan nelayan berprestasi untuk diadu kepintaran dan pengetahuan mereka tentang seputar pertanian.

Selain jadi pembawa acara program Kolempencapir, Henny juga merupakan salah satu pendirinya. Henny mengaku program itu memang sangat melelahkan lantaran ia harus mendatangi desa ke desa selama acara Kolempencapir berlangsung.

Suatu ketika saat siaran di TVRI, Henny masih ingat betul pernah dihadapkan dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Kala itu, penyakit jantung yang diidapnya itu kambuh di tengah Henny siaran berita langsung. Namun, ia tetap memilih melanjutkan siaran dengan kondisi nafasnya yang tiba-tiba terhenti alias anfal jantung.

"Saya punya pengalaman hidup di TVRI, waktu siaran. Saya anfal jantung, sempat berapa kali," ucap Henny.

Namun, keteguhan Henny berkiprah di dunia jurnalistik itulah kariernya melejit, sehingga ia mendapat amanat bertugas sebagai Koordinator Liputan (Korlip). Meski begitu, Henny juga tak jarang harus ikut terjun ke lapangan bersama para reporternya untuk bikin berita.

"Alhamdulillah. Senang sih. Kerjaannya memang melelahkan, tapi karena kita dunianya menyenangkan. Ya, happy-happy aja," imbuh dia.

2. Herman Zuhdi

Jauh sebelum menjadi penyiar, Herman Zuhdi merupakan seorang guru di sekolah dasar (SD) Muhamadiyah. Dia mengajar siswa-siswi kelas 4 selama setahun.

Setelah itu, Herman lantas mencoba peruntungan untuk melangkahkan kaki ke RRI dan diterima sebagai penyiar pada 1978. Rupanya, karier pria kelahiran 19 Juli 1957 itu lantas semakin meroket lantaran kecakapan dalam melaporkan berita membuatnya turut dipakai oleh Radio swasta.

"Di samping menjadi penyiar RRI, saya juga menjadi penyiar di Radio Swasta. Pagi sampai sore, saya di Radio Swasta dan malamnya, saya dinas di RRI," ucap Herman di Bekasi.

Lima tahun laporannya mengudara di radio, Herman selanjutnya dipromosikan menjadi pembaca berita di TVRI dengan meninggalkan statusnya sebagai penyiar radio pada 1983.

Awal berdinas, Herman tak langsung ditugaskan sebagai pembaca berita, melainkan hanya bertugas menjadi narator di salah satu program. Setelahnya, ia diberikan tanggung jawab sebagai penyiar untuk program Berita Terakhir di TVRI.

"Kalau penyiar-penyiar baru itu dulu biasanya di berita terakhir. Di program satu. Berita terakhir namanya," ucap dia.

Bagi Herman, pembaca berita di TVRI bak seorang tentara yang ingin bertempur di medan peperangan. Jenderalnya adalah pimpinan, redaktur dan floor director, yang mengharapkan berita yang disampaikan pembaca berita baik dan benar demi citra TVRI.

Makanya, pria kelahiran Palembang itu harus menyiapkan diri matang-matang, misalnya selektif dalam memilih makanan dan konsisten datang minimal dua jam sebelum siaran.

Dalam jangka waktu itu dimanfaatkan Herman untuk membaca naskah berulang kali demi meregangkan otot rahang hingga pita suara, memeriksa naskah berita, riset tentang materi berita, mengatur napas dan relax.

"Jadi, saya bertanggung jawab pada semuanya. Tanggung jawab itu yang membuat saya harus begini. Ketika kita membuat kesalahan, saya merasakan jutaan menunjuk orang itu. Saya tidak mau seperti itu. Caranya seperti apa? Harus saya bekali pengetahuan, wawasan dari aspek eksternal," kata Herman.

Dengan konsistennya itu, Herman pun semakin cakap dalam menyajikan berita sehingga ia dipercaya menjadi pembaca berita sejumlah program di TVRI. Salah satunya adalah Dunia Dalam Berita.

Dia hanya membutuhkan waktu tak lebih dari setahun untuk menjadi penyiar program terfavorit pemirsa TVRI itu. Kala itu, Toeti Adhitama bahkan menjadi rekan siarannya.

"Ketika berpasangan dengan Toeti Adhitama, itu bukan main nervous. Karena beliau yang menguji, yang tes kita. Dulu kan ngetop betul Toeti Adhitama itu. Orangnya sangat pintar, berwibawa, dan elegan di dalam masalah berita," kenang Herman.

Perjuangan saat siaran pada kerusuhan 1998

Pengalaman berkesan Herman selama berkarir di TVRI adalah siaran non-stop ketika kerusuhan 1998. Awalnya, Herman ada jadwal siaran untuk program berita sore.

Herman lantas bergegas berangkat dengan mengemudikan mobil pribadinya dari Jalan Merdeka Barat menuju Kantor TVRI di Jalan Gerbang Pemuda, Senayan, Jakarta Pusat.

Namun, kondisi di jalanan sudah mencekam, asap mengepul di mana-mana tanpa ada kendaraan yang lewat satu pun dan jalanan hanya dipenuhi lautan manusia.

"Saya dinas di TVRI bagaimana caranya? Dan belakangan saya pikir, pasti banyak halangan-halangan. Jadi, doa yang paling pasrah, sangat pasrah ketika itu berangkat ke TVRI," ucap Herman.

Di Jalan Thamrin, Herman semakin cemas lantaran orang-orang yang berada di jalan memperhatikan laju mobilnya. Sebab, massa dikhawatirkan mengamuk ingin membakar kendaraannya. Setelah naik di Jembatan Dukuh Atas, ia pun dihadapkan dengan mobil panser aparat yang beriringan.

Selama perjalanan menuju TVRI, Herman juga diadang beberapa kali oleh aparat. Di antaranya, ada barikade tentara di Atma Jaya, Pejompongan dan Kemenpora. Pada akhirnya, Herman bisa tembus dalam situasi tersebut.

"Saya sempat ditanya (aparat) mau kemana kau? Saya bilang mau baca berita di TVRI jam 5 sore. Oh yaudah, dikasih lewat," imbuh dia.

Selesai siaran pada program berita Nusantara, Herman diminta kembali membacakan berita pada jam tayang selanjutnya. Sebab, penyiar setelah Herman tak bisa keluar lantaran situasi di Jakarta yang mencekam.

Herman akhirnya menyetujuinya, sehingga harus siaran untuk program berita nusantara jam 19.00 WIB, dilanjutkan program Dunia Dalam Berita pukul 21.00 WIB dan program Berita Terakhir, tengah malam.

"Saya ingat waktu itu, Mas Den Has (penyiar program Dunia Dalam Berita) telepon, 'Herman, saya gak bisa keluar, jalanan udah diblokade'. Lanjut deh. Jadinya, jam 09.00 saya sendiri. Sampai berita terakhir, saya sendiri," imbuh dia.

Dengan proses demi proses yang dilewatinya, karir Herman sebagai pembaca berita berakhir pada tahun 2000. Dia kemudian menjabat sebagai Kepala Bidang di RRI Palembang, Kepala RRI Singaraja, Kepala RRI Mataram, Kepala RRI Palembang, RRI Denpasar, Kepala RRI Jakarta dan pensiun setelah pindah ke RRI Semarang pada 2017.

"Itu perjalanan karir saya," imbuh dia.

3. Sazli Rais

Sebagai pembaca berita di TVRI dan RRI, suara dan wajah Sazli Rais menghiasi ruang-ruang keluarga Indonesia dalam periode 1970 hingga 1980. Pria kelahiran 14 Desember 1944 di Pekon Tengah Liwa, Lampung Barat ini mengawali karirnya menjadi penyiar pada Desember 1965.

Berkiprah di dunia penyiaran memang tak pernah terbayangkan oleh Sazli. Namun dengan ikhtiar panjang dan niat bulat sejak awal, Sazli muda mau tak mau harus mencobanya, terlebih masa perkuliahannya terhenti karena demo-demo menurunkan Orde Lama.

"Itu kan kuliah nganggur ya, sempat terhentikan. Udah itu. Tertarik saya melihat RRI itu menerima pegawai. ditulis lagi penyiar," ucap Sazli saat ditemui di kediamannya, kawasan Serpong, Tangerang Selatan.

Dia tak menampik bahwa hiburan atau informasi yang paling melekat pada era remajanya adalah radio. Sehingga, hal itu yang membuat ia begitu kagum terhadap dunia penyiaran.

"Barangkali inilah yang membuat saya tertarik masuk dunia broadcasting," kata Sazli.

Sebelas tahun berkari di RRI, Sazli diminta untuk memperkuat barisan penyiar dan wartawan di TVRI yang saat itu mulai mengembangkan siaran program berita pada 1976.

Tak butuh waktu lama, Sazli langsung dipercaya menjadi pembaca berita untuk program berita Nusantara, dengan jam tayang 17.00 WIB dan 19.00 WIB dan Berita Terakhir.

"Enggak lama langsung. Beberapa minggu kemudian, saya sudah masuk di Dunia Dalam Berita," ucap Sazli.

Selain sebagai penyiar, Sazli juga seorang reporter yang ditugas dalam acara kenegaraan di Indonesia dan jurnalis olahraga di mancanegara. Dia pernah meliput turnamen bulu tangkis di All England atau Piala Thomas Cup hingga perhelatan olahraga lainnya, ASEAN Games, Asian Games dan Olimpiade.

Lalu, ia juga melakukan reportase tentang kegiatan pesepak bola Timnas Indonesia yang tengah berlatih di Brazil selama satu bulan.

"Pokoknya di situ, saya melakukan reportase tapi direkam untuk kita putar di Indonesia setelah tim kita pulang. Itu prosesnya satu bulan," ucap Sazli.

Beragam kenangan masih tersimpan di memorinya sampai hingga kini setelah Sazli mengalami pahit-getirnya selaksa pengalaman yang memperkaya hari-harinya selama liputan. Pada 1978, ketika bertugas ke London untuk siaran langsung All England, Sazli terbang menggunakan pesawat Prancis, lalu transit di Paris untuk pindah ke maskapai penerbangan Inggris.

Pada saat yang bersamaan terjadi mogok buruh di Bandara Charles de Gaule, Paris, sehingga bagasi penumpang tidak ada yang dipindahkan dari pesawat UTA (United Trans Airlines) milik perusahaan Prancis ke BA (British Airways) milik penerbangan Inggris.

Akibatnya, Sazli tidak berganti pakaian, khususnya celana panjang selama 10 hari. Di toko pakaian, tidak ada ukuran yang cocok baginya.

"Untuk ukuran dewasa pinggang terlalu besar sedangkan untuk ukuran anak-anak tidak cukup panjang. Hahaha," kata Sazli.

Bertahun-tahun berkiprah di dunia penyiaran, Sazli pernah menjabat Kepala RRI Gorontalo 1990-1993. Kemudian, ia kembali ke Jakarta menjadi Kepala Bagian Tata Usaha Direktorat Radio Departemen Penerangan 1993-1997.

Lalu, kembali ditugaskan ke Banjarmasin menjadi kepala RRI Banjarmasin 1997-2002 dan selanjutnya menjabat sebagai Kepala RRI Semarang 2002-2005 hingga Sazli menjalani masa pensiun di Jakarta.

4. Yan Partawidjaja

Industri penyiaran bukanlah hal yang asing lagi bagi pemilik nama lengkap Agustian R Partawidjaja atau biasa disapa Yan Partawidjaja. Sejak duduk dibangku sekolah menengah pertama (SMP) Yan sudah mulai mengisi waktu kosong sepulang sekolah dengan bersiaran di Radio Suara Kejayaan yang berlokasi di Bukit Barisan (saat ini dikenal dengan Pakubuwono).

“Saya pada waktu itu ikut membantu kakak saya punya bisnis itu (radio), saya kerjalah dengan kakak saya sebagai penyiar, disitulah awalnya saya jadi penyiar. Dari tahun 1967 saya sudah jadi penyiar radio. Dari pulang sekolah SMP kelas 3 sudah siaran secara profesional lari ke studio siaran,” ujar Yan Partawidjaja.

Yan mulai aktif bersiaran radio sejak dibangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) mendapat dukungan penuh dari orang tuanya dengan berbagai fasilitas pendukung untuk siaran Radio Suara Kejayaan.

“Alhamdulillah orang tua saya back up penuh semua disiapkan apa yang kurang disiapkanlah. Segala sarana dan pra sarananya dengan tujuan dari pada ini anak-anaknya lari kemana-mana ga jelas gitu, Yan kemana Yan, kalau lagi siaran aman lah gitu. Semua dikerjain diinvestasikan ke Radio Kejayaan,” kenangnya.

Seiring berjalannya waktu Radio Suara Kejayaan mengalami perkembangan yang sangat baik, Yan didapuk menjadi Direktur yang menangani acara berkolaborasi dengan kakaknya yang menduduki posisi sebagai Direktur Utama.

“Nah saya di sana itu terakhir Direktur yang menangani acara, kakak saya sebagai Direktur Utamanya,” katanya.

Setelah 10 tahun siaran radio, Yan merasa perlu adanya peningkatan karir dalam dunia siaran, dirinya ingin tampil secara visual. Pada saat itu tahun 1981 TVRI merupakan televisi satu satunya di Indonesia dan dengan TVRI Yan merasa bisa mengembangkan diri lebih luas lagi.

“Kemudian saya selain siaran merasa diri saya kan sudah 10 tahun lebih siaran di radio, pengen dong saya dikembangkan. Kalau radio kan cuma suara aja yang kedengeran, pengen dong keliatan tampang saya kaya apa. Wah satu-satunya di TVRI nih ga ada lagi TV yang lain,” ujarnya.

Yan yang sedang menjalani kuliah di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia mencari peluang lowongan penyiar TVRI melalui salah satu penyiar di Radio Suara Kejayaan, Yasir Den Has yang lebih dahulu sudah bersiaran di TVRI. Gayung pun bersambut, tidak lama kemudian ada informasi seleksi penerimaan penyiar berita TVRI. Yan pun dengan keyakinan kemampuan yang dimilikinya langsung mengikuti seleksi tersebut.

“Jadi saya kebetulan salah satu penyiar di Radio Suara Kejayaan itu Yasir Den Has. Saya nanya uda (kakak) TVRI buka lowongan ga? Saya pengen coba-coba nih gitu pengen terjun juga di TV. Kebetulan Yasir Denhas sudah duluan masuk ke TVRI sebagai pembaca berita. Dia (Yasir Denhas) kasih informasi ke saya “Yan lagi dibuka itu, tapi bukan untuk penyiar hiburan ini untuk penyiar berita,”ungkap Yan.

Setelah mengajukan surat lamaran ke TVRI, Yan Partawidjaja dipanggil untuk mengikuti seleksi penyiar. Yan mengenang bagaimana penampilannya pada saat itu dengan rambut gondrongnya dan penuh rasa percaya diri dia mengikuti seleksi penyiar

“Alhamdulillah dipanggil untuk tes tahun 1981. Waktu itu saya kan masih kuliah di Ekonomi UI, anak muda kan gondrong gondrong. Saya pikir sebelum ujian di tes sama senior senior di TVRI saya pengen potong rambut gitu kan, tapi karena sibuknya saya ga sempet untuk potong rambut, ya udah deh maju aja. Karena saya pengen tahu kaya apa testing-nya TVRI, apakah kaya orang bilang film camera action,”ujarnya.

Masih teringat jelas ketika Yan mengikuti seleksi penyiar di tahun 1981, ada 44 calon penyiar yang mengikuti tes. Toeti Adhitama dan Sambas penyiar kawakan TVRI yang menyeleksi ke 44 penyiar tersebut.

“Saya masih inget ada 44 calon penyiar yang ikut seleksi. Yang menseleksinya ibu Toeti Adhitama dan Sambas. Jadi kita dikasih 7 lembar berita, aneka berita, berita nasional, internasional, bahasa Inggris. Kamu sebutkan nama kamu Yan Partawijaja kemudian kamu baca itu,” kenang Yan.

Dalam mengikuti rangkaian tes, Yan merasa dirinya pesimis akan terpilih menjadi penyiar TVRI, mengingat tampilan rambutnya yang gondrong, sedangkan para calon penyiar lainnya mengenakan pakaian yang rapih dan lebih meyakinkan. Namun garis nasib berpihak kepada Yan, dirinya diterima di TVRI dengan catatan rambut gondrongnya harus dipotong.

“Udah saya kerjain meskipun terus terang saya ga yakin sama sekali ga yakin karena penyiar yang tes lainnya pake jas, rapih-rapih kok saya gondrong begini, nyesel gitu saya ga potong rambut dulu. Ya udahlah kalau seandainya gagal nanti coba lagi,” terangnya.

“Tiba-tiba dipanggil lagi sama TVRI dari hasil seleksi saya dipanggil ke Direktorat Pemberitaan. Keputusannya kamu diterima di TVRI dengan catatan kamu harus potong rambut,” ujarnya.

Setelah diterima, Yan menjalani proses orientasi dengan mengikuti berbagai persiapan yang dilakukan oleh penyiar sebelum tampil. Mulai dari mengamati penyiar membaca naskah, hingga mengecek ulang jumlah naskah, dan hal hal lainnya.

“Pas udah masuk istilahnya di pemberitaan kita harus meelopen mengikuti apa saja yang dikerjakan penyiar sebelum tampil. Dia baca dulu naskahnya, ada ga kekurangannya dari naskah, kalau mau ada yang dirubah dia harus lapor manajer yang meng-handle berita ini,” ujar Yan.

Setelah 2 hingga 3 bulan diterima sebagai penyiar di TVRI, Yan belum juga muncul di TV, melainkan hanya bertugas mengisi suara tayangan berita. Masih teringat betul kenangan ketika dirinya bertanya kepada koordinator penyiar, Edwin Saleh Indrapradja mengapa belum juga tampil bersiaran. Edwin Saleh mengatakan wajahnya terlampau muda.

“Tugas saya berikutnya adalah ngisi film, Yan ini filmnya, ini naskahnya, kamu isi suara direkam sampe 2-3 bulan duh kok ga muncul muncul di TV sama aja kaya radio. Rupanya saya tanya ke koordinator penyiarnya, dia bilang “Yan kamu terlampau muda”, tampang kamu terlampau muda, sehingga kalau orang denger berita kamu nanya, bener ga nih orang beritanya diragukan koordinatornya waktu itu pak Edwin Saleh Idrapradja,” kenang Yan.

Yan Partawidjaja masih terus berusaha agar dirinya tampil di televisi, hingga enam kali mengganti tipe kacamata untuk terlihat tampil lebih dewasa, namun usahanya belum membuahkan hasil.

“Saya bilang ke beliau, ini bagaimana pak? Saya pengen tampil juga gitu kan, coba kamu ganti kacamata yang tuaan. Saya sampai 6 (enam) kali ganti kacamata masih belum juga muncul sampai akhirnya saya nyerah,” jelasnya.

Di tengah usahanya yang belum membuahkan hasil, Yan melihat peluang momen olahraga PON yang saat itu sedang mencari reporter olahraga. Yan pun melihat peluang tersebut untuk bisa tampil di layar televisi. Yan memiliki ide sambil melempar bola bowling dan kemudian menyampaikan kalimat singkat penyelenggaraan cabang olahraga bowling ke hadapan kamera. Momen itu menjadi titik balik Yan tampil di layar televisi, bahkan cara Yan membawakan informasi lipuatan Pekan Olahraga Nasional (PON) diikuti oleh reporter lainnya,

“Tiba tiba di tahun itu ada Pekan Olahraga Nasional (PON) tahun 1981, dari olahraga masuk ke kamar penyiar, nanyain eh penyiar penyiar ada yang bisa bantuin ga nih, kita lagi butuh reporter olahraga. Wah kan saya ngelihat pasti tampil dong langsung saya siap. Kamu mau pegang olaharaga apa, saya bowling dan kempo, ok ya kamu pegang bowling dan kempo. Masuklah ke reporter olahraga, sama cameramen waktu di lapangan saya bilang, bro saya pengen tampil, cuma ngisi suara doang, gimana dong caranya? Kamu punya ide apa, bisa ga saya lagi pura-pura ngelempar bola bowling lalu saya balik ke kamera dan bilang “saudara kami saat ini sedang berada di Jaya Ancol Bowling untuk melaporkan turnamen Pekan Olahraga Nasional” gitu kan “oh boleh boleh”. Baru pertama kali saya lempar bola direkam sama dia, baru saya menghadap ke kamera baru saya bikin laporan kondisi terakhir di arena bowling. Setelah saya tampil, teman-teman yang lain pada nanya, emang boleh begitu, ya kan gue kagak tahu, gue pengen tampil. Teman-teman dari billiard melaporkan dengan hal yang sama,” ungkap Yan.

Ketika Yan, tampil membawakan reportase Pekan Olahraga Nasional (PON), Direktur Pemberitaan melihat dirinya tampil dan memerintahkan agar Yan Partawidjaja dijadwalkan siaran berita TVRI.

“Kebetulan Direktur Pemberitaannya melihat saya waktu tampil ini anak kenapa ga ditampilin di berita, tapi dia terlampau muda pak, dia sudah bagus kok, segera tampilkan. Mulailah saya dijadwalkan juga dari bawah banget di program Berita Terakhir atau Berita pagi. Masuklah berita terakhir, berita pagi, sampai ke berita jam 5 sore,” kata Yan.

Berkarir sejak tahun 1981 hingga 2004, Yan Partawidjaja memutuskan untuk undur diri dari dunia layar TVRI. Bagi Yan perlu ada penerus untuk memberikan tongkat estafet kepada penyiar lainnya yang meniti karir di TVRI. Meskipun sempat ditolak pengunduran dirinya, namun Yan berkeyakinan perlunya ada regenerasi penyiar di TVRI.

“Sebelumnya saya ga boleh keluar dari TVRI. Saya lapor ke Direktur Pemberitaan, pak saya mundur ya, kenapa Yan? Kemarin kan saya tampil Dunia Dalam Berita dengan teman wanita, teman wanitanya tanya dengan saya, bang Yan masuk TVRI kapan, tahun 81 wah saya belum lahir. Yang belum lahir 81 berdampingan dengan saya untuk baca berita, wah udah tua banget saya, jadi saya pamit dengan Direktur Pemberitaan,” ujar Yan.

“Ga deh kamu tampil seminggu sekali, ga enak pak yang lainnya siap tampil jam berapa aja, saya kok dibedain di Dunia Dalam Berita doang, gak deh pak saya mundur, ya udah kalau kamu memang bersikeras begitu kita relain. Mundurlah saya 2004,” kenang Yan.

Di tengah pengunduran dirinya dan hari tersebut menjadi rapat yang terakhir disampaikanlah penghargaan yang tinggi untuk Yan Partawidjaja. Hal tersebut menjadi kenangan indah bagi akhir perjalanan karir Yan di TVRI.

“Saya terpukau karena di dalam meeting pemberitaan diumumkan di situ, teman teman sekalian kita akan kehilangan seorang penyiar karena dia akan meninggalkan kita,. Meninggalkan TVRI mudah-mudahan hati dia masih tetap di TVRI ini Yan Partiwidjaja. Belum ada penyiar lain di begituin gitu kecuali saya. Jadi saya bilang penghargaan TVRI tinggi banget,” ujarnya.

Bagi Yan Partawidjaja, TVRI tidak pernah luput dari hatinya berbagai pengalaman yang dirinya dapatkan menjadi. Tonggak perubahan dalam hidupnya. Siaran dari tahun 1981 hingga 2004 merupakan kenangan hidup terindah yang tidak pernah hilang dari memori kehidupannya. Siaran Dunia Dalam Berita tahun 2004 menjadi penutup pengabdiannya di TVRI, hal ini bukan berarti Yan berhenti mencintai TVRI, tapi memberikan kesempatan kepada penerus penyiar TVRI mengembangkan layar untuk memberikan penampilan terbaiknya dalam membawakan berita.

“Alhamdulillah saya ga mungkin melupakan TVRI karena TVRI yang banyak membantu, bukan dalam materi melainkan non materi. Siaran dari 1981 sampai dengan tahun 2004. Terakhir siaran DDB,” tutup Yan Partawidjaja.