
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati. (Tangkap layar akun Instagram resmi @smindrawati)
Jakarta, tvrijakartanews - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakakan perlu arsitektur global yang inklusif saat menghadiri Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 (FMCBG) G20 di Afrika Selatan.
"Arsitektur keuangan global harus mencakup seluruh spektrum perekonomian baik negara berpenghasilan rendah, negara berkembang, maupun negara maju," kata Sri Mulyani dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (20/7/2025).
Sri Mulyani menuturkan, Bank Pembangunan Multilateral (MDBs) tengah mengimplementasikan Peta Jalan MDB G20 serta rekomendasi-rekomendasi dari Laporan CAF (Capital Adequacy Framework). Munculnya teknologi keuangan, mulai dari aset kripto hingga mata uang digital, menawarkan potensi besar dalam hal kecepatan dan efisiensi.
"Namun, perkembangan ini juga membawa risiko-risiko baru yang tidak dapat diabaikan," tuturnya.
Dikatakan Sri Mulyani, situasi ini menuntut negara-negara G20 untuk meninjau kembali fondasi dari arsitektur keuangan internasional guna memastikan bahwa sistem tersebut tetap stabil, inklusif, dan relevan dalam menghadapi dunia yang terus berkembang dengan cepat.
Selam pertemuan yang berlangsung pada 17-18 Juli 2025, para menteri keuangan dan gubernur bank sentral membahas berbagai isu yang menjadi prioritas negara G20 dan perlu mendapatkan perhatian bersama untuk menghadapi tantangan global saat ini.
Selain arsitektur keuangan internasional, isu-isu yang diangkat dalam pertemuan tersebut utamanya yakni ekonomi global, keuangan berkelanjutan, infrastruktur, sektor keuangan, pajak internasional, dan kesehatan global.
Terkait ekonomi global dan tantangan terkini, para menteri keuangan dan gubernur bank sentral menyoroti ketidakpastian ekonomi global akibat konflik bersenjata, tensi geopolitik, fragmentasi perdagangan, utang publik tinggi, dan kejadian iklim ekstrem.
Hubungan ekonomi global sering dipersepsikan sebagai permainan zero-sum, di mana keuntungan yang diperoleh oleh satu pihak terjadi dengan mengorbankan pihak lain. Persepsi semacam ini harus segera ditanggapi secara serius.
“Perdagangan dan investasi seharusnya berfungsi sebagai instrumen untuk mencapai kemajuan bersama, yakni menciptakan nilai tambah yang dapat dirasakan oleh seluruh pihak yang terlibat,” ujar Menkeu.
Selain itu Menkeu juga menyampaikan bahwa pertumbuhan yang tangguh dimulai dari dalam negeri, terutama di tengah ekonomi dan lingkungan global yang menciptakan lebih banyak risiko.
Indonesia mengatasi ketidakseimbangan dengan menggunakan instrumen fiskal secara hati-hati dan terukur, bersifat countercyclical, sebagai peredam guncangan, dan mendorong reformasi struktural.
“Kami bekerja sama dengan otoritas moneter untuk menciptakan kepercayaan dan stabilitas. Inflasi 1,6 persen, defisit fiskal 2,5 persen,” imbuhnya.
Dalam isu terkait perpajakan internasional, Menkeu menyampaikan bahwa arsitektur perpajakan internasional yang adil, efektif, dan stabil bukan hanya soal pemerataan global melainkan prasyarat bagi ketahanan dan pembangunan berkelanjutan.
Terkait keuangan berkelanjutan, para menteri keuangan dan gubernur bank sentral menekankan perlunya koordinasi global dalam arsitektur keuangan berkelanjutan, mendorong interoperabilitas dan efisiensi pembiayaan iklim, termasuk penguatan aksi adaptasi, ketahanan, dan rencana transisi menuju pembangunan rendah karbon.
Pada isu terkait infrastruktur, para anggota G20 menyatakan bahwa peningkatan investasi infrastruktur yang berkualitas sangat penting untuk mendukung pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang lebih cepat dan berkelanjutan.