Pembangunan vs Hak Rakyat: Konsinyasi, Instrumen Sah atau Pemaksaan Terselubung
FeatureNewsHot
Redaktur: Redaksi

Wanda Syahputra

Wanda Syahputra, S.E

Analisis kebijakan Publik

Jakarta, tvrijakartanews - Dalam upaya untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, pengadaan tanah untuk kepentingan umum sering kali menjadi salah satu tantangan terbesar yang harus dihadapi. Pemerintah, dalam hal ini, memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa tanah yang dibutuhkan untuk proyek pembangunan dapat diperoleh dengan cara yang sah dan adil. Salah satu mekanisme yang sering digunakan dalam pengadaan tanah adalah konsinyasi, yaitu penitipan uang ganti kerugian di pengadilan ketika terjadi ketidaksepakatan antara pihak yang berhak atas tanah dengan pihak yang membutuhkan tanah tersebut. Meskipun konsinyasi merupakan praktik yang sah dalam hukum Indonesia, penerapannya menimbulkan sejumlah pertanyaan penting terkait dengan prinsip dasar dalam pengadaan tanah, yakni asas sukarela.

Konsinyasi: Solusi Hukum atau Pemaksaan Terselubung?

Konsinyasi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, dimaksudkan sebagai mekanisme yang memungkinkan pengambilalihan tanah dilakukan meskipun pemilik tanah menolak atau tidak hadir dalam proses negosiasi. Uang ganti kerugian kemudian ditempatkan di pengadilan hingga ada penyelesaian lebih lanjut. Pada pandangan pertama, ini mungkin terdengar seperti solusi hukum yang praktis, untuk memastikan bahwa proyek pembangunan dapat berjalan tanpa hambatan.

Namun, di balik itu semua, konsinyasi menimbulkan kekhawatiran serius mengenai keadilan substansial bagi pemilik tanah. Dalam sistem hukum agraria Indonesia, asas sukarela merupakan prinsip yang sangat penting. Pengadaan tanah harus dilakukan melalui proses musyawarah yang adil dan penuh kesepakatan, tanpa adanya unsur paksaan. Konsinyasi, yang pada dasarnya merupakan penitipan uang ganti kerugian tanpa persetujuan dari pihak yang berhak atas tanah, berpotensi mengikis nilai prinsip ini. Proses yang hanya mengandalkan mekanisme administrasi pengadilan tanpa kesepakatan nyata antara pemilik tanah dan pihak yang membutuhkan tanah, dapat dianggap sebagai bentuk pemaksaan terselubung yang bertentangan dengan semangat hukum agraria.

Prinsip Musyawarah yang Harus Ditegakkan

Salah satu dasar utama dalam perolehan tanah menurut hukum Indonesia adalah musyawarah untuk mufakat. Setiap peralihan hak atas tanah seharusnya terjadi melalui kesepakatan bersama antara pemilik tanah dan pihak yang membutuhkan tanah tersebut. Dalam hal ini, pemerintah sebagai pihak yang berwenang untuk melakukan pengadaan tanah seharusnya lebih mengutamakan dialog terbuka dan transparansi dalam proses penilaian ganti rugi. Pemberian ganti rugi yang adil dan sesuai dengan nilai ekonomi tanah yang dimiliki harus menjadi prioritas, agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan.

Penggunaan konsinyasi sebagai jalan pintas untuk menyelesaikan masalah ganti rugi tanpa melalui kesepakatan yang jelas dan transparan berpotensi menimbulkan ketidakpuasan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Ketika tanah seseorang diambil tanpa persetujuan yang tulus, meskipun dengan alasan pembangunan untuk kepentingan umum, maka pertanyaan tentang keadilan dan perlindungan hak milik menjadi sangat relevan. Negara tidak boleh semata-mata berfokus pada kepentingan pembangunan tanpa memperhatikan hak-hak individu yang harus dihormati.

Konsinyasi dalam Perspektif Keadilan Sosial

Konsinyasi bisa dipandang sebagai langkah pragmatis yang sah dari perspektif hukum prosedural. Namun, dari perspektif keadilan sosial, konsinyasi memiliki potensi untuk memperburuk ketidaksetaraan. Tanpa adanya proses musyawarah yang benar-benar adil, pemilik tanah bisa merasa diabaikan dan dilupakan dalam perencanaan pembangunan yang seharusnya menguntungkan semua pihak. Selain itu, mekanisme konsinyasi seringkali memunculkan kesan bahwa pemerintah lebih mengutamakan kelancaran proyek daripada menjamin pemenuhan hak masyarakat.

Penting untuk dicatat bahwa pengadaan tanah bukan hanya soal aspek hukum formal, tetapi juga soal menghormati dan melindungi hak asasi manusia. Negara harus menyeimbangkan antara kepentingan pembangunan dan hak rakyat atas tanah mereka. Dengan demikian, meskipun konsinyasi memiliki dasar hukum yang jelas, penerapannya harus selalu mengedepankan prinsip keadilan, transparansi, dan musyawarah.

Kesimpulan: Perlunya Evaluasi dalam Penggunaan Konsinyasi

Dalam konteks ini, penggunaan konsinyasi dalam pengadaan tanah memang perlu dievaluasi lebih lanjut. Pemerintah perlu memastikan bahwa konsinyasi hanya digunakan sebagai upaya terakhir setelah semua cara untuk mencapai kesepakatan melalui musyawarah telah habis. Proses penilaian ganti rugi juga harus dilakukan secara transparan, dengan melibatkan pihak yang berhak atas tanah dalam penentuan nilai ganti rugi yang adil. Pemerintah, dalam hal ini, tidak boleh mengorbankan prinsip keadilan sosial demi kelancaran proyek semata.

Pada akhirnya, pengadaan tanah untuk kepentingan umum tidak hanya harus sah menurut hukum, tetapi juga harus adil dan manusiawi, menghormati hak pemilik tanah dan memperhatikan aspek sosial dan ekonomi masyarakat. Agar pembangunan yang dilakukan benar-benar untuk kepentingan bersama, tidak boleh ada pihak yang dirugikan dalam prosesnya. Jika konsinyasi diteruskan tanpa adanya perubahan dalam prosedur yang lebih berorientasi pada keadilan, maka kita bisa jadi justru akan menciptakan ketidakpuasan sosial yang lebih besar di masa depan.