Pusaran Paylater dan Pinjol di Kalangan Generasi Z
FeatureNewsHotAdvertisement

Ilustrasi: Heni Aprilia

Jakarta, tvrijakartanews - Perkembangan teknologi mendorong sejumlah perusahaan menyediakan transaksi keuangan melalui digital. Salah satunya, paylater adalah sistem pembayaran yang ditunda, ini memudahkan bagi masyarakat dalam membeli barang tanpa harus membayar langsung tapi sebagai gantinya tiap masyarakat membayar tiap bulan beserta bunganya.

Iming-iming tawaran yang manis dilakukan oleh sejumlah perusahaan penyedia paylater untuk menarik perhatian para generasi Z (Gen Z) menggunakan paylater untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Paylater adalah istilah yang merujuk pada transaksi pembiayaan barang atau jasa. Sama seperti namanya, paylater memungkinkan pengguna untuk menunda atau mencicil pembayaran melalui suatu platform.

Kemudahan layanan "beli sekarang bayar nanti" yang ditawarkan paylater, dinilai sebagian orang bisa membuat ketagihan para penggunanya.

Saat ini, banyak perusahaan perbankan mulai mengembang pembayaran digital paylater. Hal ini untuk memanjakan Gen Z dalam melakukan transaksi pembayaran secara digital.

Menanggapi keberadaan fenomena tersebut, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) sekaligus pengamat ekonomi digital Nailul Huda mengatakan dengan ekosistem perbankan yang semakin digital, cukup menarik melihat Buy Now, Paylater (BNPL) ke depan.

"Dahulu memang (BNPL) muncul dari perusahaan multifinance yang lebih flexible dan didukung oleh ekosistem digital dan perdagangan yang komplit. Ternyata, sekarang ini bank juga menawarkan kemudahan akses," kata Huda.

Huda mengatakan bahkan penggunaannya seperti kartu kredit dan bisa transaksi di mana saja. Masuknya perbankan ke BNPL atau paylater, menunjukkan pangsa pasar paylater memang cukup besar.

"Orang akan cenderung memilih paylater dibandingkan dengan kartu kredit untuk saat ini. Terlebih masyarakat unbanked (individu yang cukup umur namun tidak memiliki rekening bank) dan underbanked (individu atau organisasi yang tidak atau secara sukarela) tidak memiliki akses yang memadai ke layanan dan produk keuangan) masih cukup tinggi.

"Paylater bisa menjadi alternatif pembiayaan bagi mereka," tutur Huda.

Sementara itu, Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan pertumbuhan pengguna paylater di tahun 2024 mengalami kenaikan mencapai 35 persen yang didominasi Gen Z. Hal ini karena mereka menyukai teknologi.

"Kenaikannya cukup signifikan karena memang masa-masa Gen Z yang kita tahu sedang suka dengan teknologi. Mereka itu sedang mencari permainan-permainan yang bagus melalui handphone," ujar Ibrahim.

Menurut Ibrahim, saat ini pengguna paylater bukan hanya didominasi Gen Z yang berasal dari kota. Namun sudah merambah ke sejumlah daerah, hingga pedesaan.

"Sekarang ini seluruh transaksi menggunakan serba teknologi, bahkan bukan hanya di kota, tetapi di daerah-daerah pun kota-kota kecil pendesaan sudah cukup maju dengan teknologi yang cukup canggih, tidak seperti zaman dahulu. Tetapi untuk gen z cukup luar biasa perkembangannya," tutur Ibrahim.

Selain itu, Ibrahim menyampaikan kehadiran pembayaran digital seperti paylater membawa dampak positif dan negatif, bagi Gen Z. Dampak negatifnya, gaya hidup mewah itu memaksa mereka ikut-ikutan seperti gaya hidup mewah.

"Sedangkan dampak positifnya ini memberikan semangat kepada kaum z bahwa hidup ini kamu harus bekerja keras. Untuk mendapatkan sesuatu, jangan kamu duduk malas, main motor-motoran kamu harus berjuang karena hidup ini sebenarnya gampang kamu harus berusaha," tutur Ibrahim.

Ibrahim menilai kebanyakan kalangan Gen Z memanfaatkan paylater seperti untuk membeli makanan, pakaian dan kebutuhan travelling.

"Kalau saya melihat kebanyakan kaum Gen Z untuk keperluan berbelanja pakaian, jalan-jalan dan sebagainya," ujar Ibrahim.

Perusahaan Terapkan Syarat BI Checking Calon Karyawan

Sejumlah perusahaan menerapkan BI checking sebagai salah satu syarat penerimaan karyawan baru. Human resource (HR) salah satu perusahaan BUMN mengungkapkan, perusahaan tempatnya bekerja sudah menerapkan salah satu syarat penerimaan karyawan melalui BI checking. Penerapan ini sudah dilakukan sejak dua tahun belakangan sebagai tahap akhir dari serangkaian tes masuk ke perusahaan tersebut.

“Kalau BI checking itu sebenarnya sudah dilakukan sebelumnya sejak tahun 2020, sudah diterapkan untuk BI checking penerimaan karyawan. Sebelum karyawan itu masuk meskipun sudah tahap interview, nah kita filter melalui BI checking, “ ujar Human Resource salah satu BUMN.

BI checking tujuannya untuk melihat rekam jejak calon karyawan yang mengikuti seleksi, meskipun BI checking bukan syarat utama diterima atau tidaknya, namun hal tersebut menjadi pertimbangan terakhir dari serangkaian tes.

“Setelah interview, psikotes, BI checking itu ada di tahapan terakhir biasanya. Jadi kayaknya masih ada pertimbangan kalau misalkan memang dia lolos ini, tapi BI checking-nya itu masih bisa jadi bahan pertimbangan. Jadi kaya bukan yang utama sebenarnya, tapi kalau sudah benar-benar collect-nya jelek itu langsung ga lolos,” lanjutnya.

Banyaknya kemudahan dan akses pinjaman membuat para calon karyawan terlilit hutang dalam jumlah kecil hingga besar. Hal itu yang menyebabkan pihaknya melakukan BI checking. Penelusuran Human Resource (HR) terhadap calon karyawan yang melamar di perusahaannya didominasi usia 29 tahun ke bawah melalui BI checking ditemukan semuanya memiliki pinjaman melalui fasilitas paylater dan pinjaman online (pinjol).

“Ga ada, untuk saat ini ga ada yang bersih. Biasanya untuk anak-anak kelahiran 1995 sampai dengan 2000an.”

“Kalau untuk saat-saat ini 2 tahun ke belakang penerimaan karyawan kebanyakan memang milenial-milenial (Gen Z) ini banyak paylater. Kalau kartu kredit mereka ga terlalu, mereka tuh sekarang paylater, pinjaman online (pinjol) pada saat mereka kuliah jadi terbiasa pada saat mereka kuliah mereka ngambil paylater, pinjaman online (pinjol), dan ga kaya kartu kredit ga semudah itu kan. Dengan adanya paylater dan pinjaman online (pinjol) saat mereka kuliah habit-nya (kebiasaan) udah kaya gitu. Jadi ketika mereka masuk kerja itu udh banyak fasilitas paylater, pinjaman online (pinjol) pada tercatat di BI checking mereka,” ungkapnya.

Fasilitas pinjaman yang digunakan calon karyawan dalam bentuk pinjaman online (pinjol) ditemukan sejumlah fakta bahwa hampir semua dari mereka menggunakan fasilitas pinjaman online (pinjol) illegal dengan rekam jejak yang tidak bagus.

“Kebanyak dari mereka ada yang mengambil pinjaman online (pinjol) illegal ada yang legal juga dan yang illegal pinjaman online (pinjol) kebanyak nereka collect-nya jelek ga dibayar,” jelasnya.

Di sisi lain masih penelusuran HR fasilitas paylater dan pinjaman online (pinjol) yang digunakan para calon karyawan nilainya cukup fantastis jutaan hingga ratusan juta rupiah dengan cara menggunakan fasilitas dari satu paylater ke paylater lain begitu pula dengan pinjaman online (pinjol) yang digunakan lebih dari satu pinjaman online (pinjol).

“Untuk paylater limit-nya kan ga begitu besar, tapi mereka banyak dari berbagai platform. Satu platform cash paling gede 9 juta, 20 juta, tapi yang beranak pinak 3 juta, 5 juta banyak. Sampe ada yang 7 fasilitas pinjaman online (pinjol) dan paylater. Ada sih, sampe 250 juta ada dia juga punya KTA,” jelasnya.

Human Resource salah satu BUMN mengatakan lebih lanjut para calon karyawan terdeteksi banyak yang menunggak cicilan pinjaman online (pinjol) atau yang dikenal dengan istilah sosial saat ini gagal bayar (galbay).

“Kebanyakan yang gagal bayar sih untuk saat ini untuk anak-anak yang baru. Mereka sengaja ga bayar di platform pinjaman online (pinjol) yang illegal. Kita pas tarik data di BI checking kelihatan platform yang mereka ambil sama yang macetnya berapa besarnya. Biasanya pokok dan bunga, itu kelihatan di BI checking,” lanjutnya.

Rangkaian penelusuran yang dilakukan Human Resource (HR) selain pinjaman online (pinjol) ditemukan pula jejak rekam penggunaan paylater yang digunakan untuk membeli kebutuhan barang konsumtif atau tersier yang terdeteksi secara otomatis.

“Kebanyak itu kebiasaan mereka untuk konsumtif. Biasanya platform paylater yang paling banyak ditemukan. Kalau diamati paylater lebih mudah pencairannya. Mereka bayarnya nyicil di paylater. Misalkan mereka beli handphone, perlengkapan elektronik ke-detect harganya berapa yang mereka ambil di paylater, “ paparnya.

Selain kebutuhan membeli barang ditemukan pula data para calon karyawan menggunakan fasilitas paylater untuk berlibur.

“Kalau travelling untuk anak-anak yang fresh graduate jarang ditemukan, tapi ketika yang sudah pengalaman kerja 2-3 tahun yang pernah kerja di tempat lain terus mereka melamar biasanya ada sih, “ lanjutnya.

“Kalau sejauh ini paling kalau paylater travelling ditemuin platform 20 jutan ada sih, kayanya emang buat liburan”.

Pengalaman dalam menerima karyawan dilakukan seleksi yang berlapis untuk menjamin karyawan yang diterima memiliki jejak rekam yang baik dari berbagai sisi, kemampuan yang mumpuni untuk mendukung efektifitas kinerja para karyawan. Namun, dalam perjalanannya setelah diterima ada karyawan yang terdeteksi bermain judi online. Sumber kami mengungkapkan tidak bisa mendeteksi pada saat screening di BI checking keterlibatan seseorang dalam judi online. Karyawan tersebut terdeteksi setelah adanya laporan lilitan hutang dari pihak di luar perusahaan tersebut.

“Kalau laki-laki ada mungkin buat judi online. Ada karyawan yang diterima kemudian terlilit hutang dan ketahuan terlibat judi online. Kalau judi online kebanyakan ini pada saat sudah jadi karyawan kita. Ada laporan dari bank ini, bank ini orang tersebut terlilit judi online, ada laporan ke kita. Dari pinjaman online (pinjol)nya atau apanya nagihkan biasanya ke HRD. Karena platform-nya bilang terlibat judi online. Ga ada yang bisa screening (BI checking) orang tersebut terlibat judi online. Ga akan kelihatan di BI checking karena emang ga terlihat. Kita ga tahu dia itu nyairin buat apa, kalau paylater kan kelihatan buat belanja kebanyakan,” ungkapnya.

Menurut sumber kami, penelusuran BI checking oleh HR sulit untuk mendeteksi judi online, karena pencairan hasil dari transaksi judi online menggunakan nama pribadi dari operator judi online dan tidak bisa terdeteksi oleh pihaknya.

“Namanya nama pribadi dari judi online itu. Mungkin dari pinjaman online (pinjol)-nya tahu, yang bisa tahu dari pinjaman online (pinjol)-nya,” lanjutnya.

Pinjaman yang begitu mudahnya ditambah gaya hidup menyebabkan gaji yang akan karyawan diterima tidak sebanding dengan cicilan yang mereka miliki dari berbagai platform.

“Itu sudah sangat umum saat ini. Pinjaman mereka lebih besar dari gaji mereka,” ujarnya.

Gen Z Gampang Iri

Dihubungi secara terpisah, Sosiolog Universitas Indonesia Jakarta Devie Rachmawati menilai Gen Z sekarang tumbuh dalam ekosistem yang memberi ruang digital banyak mendemonstrasikan gaya hidup mewah yang ditampil media sosial. Hal ini memicu timbul rasa iri pada anak muda sekarang.

"Kalau kita lihat generasi Z memiliki karakter iri, mereka generasi envy society mereka mudah iri secara mental mudah terganggu, gampang baper," ungkap Devi.

Dikatakan Devi, Generazi Z banyak dihujani dengan makanan-makanan visual yang dinilai tidak bergizi. Padahal data menunjukkan apa yang orang di media sosial bukan yang sebenarnya atau rekayasa.

"Jadi artinya yang ditampilkan kemewahan, keindahan, digambarkan benar-benar sesuatu yang nyata di kehidupan sebenarnya. Tapi orang tidak sadar kehidupan yang sebenarnya tidak sesuai dengan kehidupan yang ada," tambah Devi.

Saat ini, kata Devi, dunia sudah semakin tua, tantangan iklim yang memicu bahan pokok semakin mahal, dan tahun 2022 populasi orang bertambah 8 miliar orang yang artinya persaingan semakin ketat.

"Mencari pekerjaan tidak mudah, tapi mereka dibanjiri tayangan-tayangan menggunggah keinginan mereka tapi tidak sesuai dengan kemampuan mereka. Pada akhir mereka meminjam uang ke pinjaman online (pinjol) atau paylater untuk memenuhi gaya hidup mereka," tutur Devi.

Selain itu, Devi menuturkan merebaknya kebiasaan Gen Z salah satu "pasangan serasi" yang serius bisa menjerumuskan manusia digital adalah judi online dan pinjaman online (pinjol) illegal.

"Nah judi online yang karakternya bermain game, orang tidak menyadari itu berbahaya ujungnya mereka-mereka tidak bisa atau ingin mendapatkan keuntungan lebih atau menutupi kerugiannya maka mereka meminjam pinjaman online (pinjol) yang bahaya adalah judi online didominasi oleh anak-anak muda. Kenapa, karena mereka mempunyai akses dan memahami ekosistem digital," paparnya.

Sumber kami salah seorang Gen Z pria berusia 23 tahun mengaku menggunakan paylater sudah hampir satu tahun lalu. Karena memudahkannya dalam bertransaksi secara online.

"Saya pake paylater sudah hampir satu tahun lalu," ujarnya.

Dirinya mengaku biasanya menggunakan paylater untuk keperluan membeli tiket kereta api saat melakukan travelling bersama pacar atau membeli paket internet.

"Saya pake paylater ini biasanya untuk beli pulsa terus beli tiket kereta api jalan sama pacar," paparnya.

Menurutnya, selain menggunakan paylater untuk travelling keluar kota, dirinya menggunakan transaksi digital ini untuk membeli barang-barang elektronik.

"Selain bepergian, saya belanja barang-barang elektronik, seperti handphone (hp), laptop dan sebagainya," tambahnya.

Ditanya berapa nominalnya, sumber kami menyebutkan selama setahun dia menghabiskan uang digital kurang lebih Rp20 juta.

"Jadi untuk saya perbulannya nyicil Rp2,6 jutaan," kata pria yang berkerja di perusahaan perbankan.

Ditemui terpisah, salah seorang wanita yang berprofesi sebagai pegawai bank swasta berusia 22 tahun mengaku sudah memakai paylater sejak tahun 2020.

"Seingat saya sejak tahun 2020, biasanya untuk beli skincare, baju, sepatu, dan tiket perjalanan liburan yang harganya cukup mahal. Biasanya saya menghabiskan uang kurang lebih Rp30 hingga 60 juta," tuturnya.

Alasanya memakai paylater, adalah mengakses paylater sangat mudah. Tidak seperti kartu kredit yang harus menunggu konfirmasi lebih lama.

"Terkadang ada cashback ataupun gratis ongkir jika menggunakan paylater," jelasnya.

Dikatakannya, tapi biasanya sebelum memutuskan untuk pakai paylater, ia akan menghitung terlebih dahulu apakah bunganya besar atau tidak.

"Semisal barang yang diinginkan lagi diskon besar dan ketika pakai paylater harganya tidak melebihi harga sebenarnya baru saya menggunakan paylater," bebernya.

Dirinya menghabiskan uang untuk berbelanja paylater, tergantung harga produknya.

"Kalau masih di bawah 200 ribu, biasanya menggunakan paylater 'bayar bulan depan' dengan bunga 0 persen. Jadi hanya menunda pembayaran, sedangkan untuk di atas 500ribu baru menggunakan cicilan paylater maksimal 3 bulan cicilan," tandasnya.

Layanan pinjaman online pinjaman online (pinjol) dan paylater makin banyak digandrungi anak muda. Data ResearchandMarkets.com melaporkan fenomena pinjaman online pinjaman online (pinjol) atau Buy Now Paylater (BNPL) di Amerika Serikat (AS) yang menunjukkan ada 51,6 persen pembayaran tahunan menggunakan paylater atau setara US$2.133 juta pada 2023 lalu.

Anak muda jadi konsumen terbanyak yang menggunakan paylater di negara tersebut. Dalam laporan PYMNTS, anak muda menggunakan BNPL mencapai rata-rata US$1.692 (Rp25,94 juta) lebih tinggi dibandingkan masyarakat yang lebih tua berjumlah US$1.006 (Rp15,42 juta).

Data pinjaman online (pinjol) dan BNPL di Indonesia

Untuk di Indonesia, jumlah outstanding amount atau jumlah hutang belum dibayarkan dari BNPL mencapai Rp 25,16 triliun per semester I-2023. Sedangkan total outstanding, termasuk kredit macet atau non-performing loan (NPL) sebesar Rp2,15 triliun yang berasal dari 13 juta pengguna BNPL atau lebih dari dua kali lipat dari pengguna kartu kredit yang hanya 6 juta pengguna.

Laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan NPL untuk BNPL per April 2023 mencapai 9,7 persen. Angka tersebut jauh di batas aman yakni 5 persen. Hampir setengah pengguna BNPL adalah usia muda. Dilaporkan usia 20-30 tahun menyumbang 47,78 persen.