MKMK Sebut Baleg DPR RI Lakukan Pembangkangan Terhadap Putusan MK
NewsHot
Redaktur: TVRI Jakarta Portal Team

Gedung Mahkamah Konstitusi atau MK. Foto Istimewa

Jakarta, tvrijakartanews - Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) I Dewa Gede Palguna menyebut Badan Legislasi (Baleg) DPR RI telah melakukan pembangkangan terhadap putusan MK. Baleg sebelumnya melakukan rapat untuk merevisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Undang-Undang Pilkada) pasca MK menerbitkan putusan soal ambang batas suara dalam pencalonan pilkada.

"Pembangkangan terhadap konstitusi itu," kata Palguna di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (21/8/2024).

Menurut Palguna, hasil rapat Baleg DPR RI merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi. DPR, kata dia, tidak mengindahkan putusan MK yang bersifat final dan mengikat.

Meski sudah jelas melakukan pembangkangan terhadap konstitusi, Palguna mengaku pihaknya tak dapat melakukan apapun.

"MKMK kan tidak perlu bersikap apa-apa, kami tidak punya kewenangan memeriksa Baleg DPR. Tapi cara ini, buat saya pribadi, adalah pembangkangan secara telanjang terhadap putusan pengadilan, c.q. Mahkamah Konstitusi yang tidak lain adalah lembaga negara yang oleh Konstitusi (UUD 1945) ditugasi untuk mengawal UUD 1945," kata Palguna.

Sikap DPR RI itu, kata dia, tinggal menunggu waktu dihadapkan dengan rakyat dan kalangan civil society, serta kalangan kampus.

"Itu pun jika mereka belum kecapean. MK adalah pengadilan yang, sebagaimana galibnya pengadilan, baru bisa bertindak kalau ada permohonan," imbuhnya.

Sebelumnya, Panja Baleg, pemerintah, dan Dewan Perwakilan Daerah tengah membahas revisi Undang-Undang Pilkada. Revisi Undang-Undang Pilkada ini sesungguhnya sudah lama menggelinding di Senayan.

Tapi Baleg tiba-tiba mempercepat pembahasannya setelah putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materi Pasal 40 UU Pilkada yang mengatur ambang batas pencalonan kepala daerah dan wakil kepala dearah, serta Pasal 7 ayat 2 huruf e UU Pilkada mengenai bata usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur.

Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah. Awalnya, ambang batas pencalonan yaitu didukung minimal 20 persen partai politik pemilik kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Lalu ambang batas itu diubah menjadi didukung oleh partai politik dengan perolehan suara antara 6,5 sampai 10 persen dari total suara sah. Angka persentase dukungan partai ini disesuaikan dengan jumlah penduduk di provinsi, kabupaten, maupun kota. Mahkamah Konstitusi juga memutuskan syarat calon gubernur dan wakil gubernur minimal berusia 30 tahun terhitung sejak pendaftaran pasangan calon.

Namun, Baleg menyiasati keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Dalam perubahan Pasal 7 ayat 2 huruf e UU Pilkada, Baleg merumuskan batas usia calon gubernur dan wakil gubernur minimal 30 tahun terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih. Selanjutnya, rumusan Baleg terhadap Pasal 40 UU Pilkada adalah mengatur ambang batas pencalonan sebesar 6,5 sampai 10 persen suara sah hanya berlaku bagi partai politik non-kursi di DPRD. Sedangkan ambang batas pencalonan bagi partai pemilik kursi di DPRD adalah sebesar 20 persen dari jumlah kursi di Dewan atau 25 persen dari perolehan suara sah.

Saat pembahasan berlangsung, anggota Baleg awalnya memperdebatkan putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Adapun putusan Mahkamah Agung sejalan dengan rumusan Baleg di atas.

"Itu kan sebenarnya tergantung kita. Perintah di MK itu, ya, hanya menolak gitu aja kan? Artinya ada yang lebih detail itu di putusan MA," kata pimpinan rapat Panja Baleg, Achmad Baidowi, dalam rapat di Kompleks DPR.