
Seorang gadis muda berjalan di daerah kumuh Kaweni di Mayotte setelah Siklon Chido pada 19 Desember 2024 (Adrienne Surprenant/AP)
Jakarta, tvrijakartanews - United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF) atau Dana Darurat Anak Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa melaporkan, setidaknya 242 juta siswa mengalami gangguan pendidikan tahun lalu karena gelombang panas, topan, banjir, dan peristiwa cuaca ekstrem lainnya.
Gelombang panas merupakan peristiwa iklim yang paling mengganggu, dengan Bangladesh, Filipina, dan Kamboja mengalami penutupan sekolah secara luas dan pengurangan jam sekolah, kata UNICEF dalam sebuah laporan yang dirilis pada hari Jumat (24/01).
Dilansir Aljazeera, Afghanistan merupakan salah satu dari sejumlah negara yang menghadapi berbagai bahaya iklim. Negara tersebut menghadapi gelombang panas serta banjir bandang parah yang merusak atau menghancurkan lebih dari 110 sekolah pada bulan Mei, kata UNICEF.
menurut Organisasi Meteorologi Dunia, suhu global mencapai titik tertinggi sepanjang masa pada tahun 2024, dengan suhu permukaan rata-rata Bumi naik 1,55 derajat Celsius (2,79 derajat Fahrenheit) di atas rata-rata tahun 1850-1900.
“Anak-anak lebih rentan terhadap dampak krisis terkait cuaca, termasuk gelombang panas yang lebih kuat dan lebih sering terjadi, badai, kekeringan, dan banjir,” kata direktur eksekutif UNICEF Catherine Russell.
Ia melanjutkan, “Tubuh anak-anak sangat rentan. Mereka lebih cepat panas, kurang efisien berkeringat, dan lebih lambat mendinginkan diri dibandingkan orang dewasa. Anak-anak tidak dapat berkonsentrasi di ruang kelas yang tidak memberikan kelegaan dari panas yang menyengat, dan mereka tidak dapat pergi ke sekolah jika jalan setapak banjir, atau jika sekolah tersapu banjir.”
Secara total, 85 negara mengalami gangguan sekolah terkait iklim, termasuk 20 negara yang mengalami gangguan di seluruh negeri, menurut UNICEF. Dari hampir 250 juta siswa yang terkena dampak, 74 persen berada di negara berpenghasilan menengah dan rendah.
Asia Selatan merupakan kawasan yang paling parah terkena dampak, dengan sekitar 128 juta siswa menghadapi pergolakan terkait iklim, diikuti oleh Asia Timur dan Pasifik, menurut UNICEF. Menurut badan PBB tersebut, September mencatat gangguan yang paling sering terjadi, dengan sedikitnya 18 negara menangguhkan kelas.
“Pendidikan merupakan salah satu layanan yang paling sering terganggu akibat bahaya iklim. Namun, pendidikan sering kali diabaikan dalam diskusi kebijakan, meskipun perannya dalam mempersiapkan anak-anak untuk beradaptasi dengan iklim,” kata Russell.