
Foto: SynthEx/Shutterstock
Jakarta, tvrijakartanews - Perguruan tinggi seharusnya menjadi momen penting dalam kehidupan orang dewasa muda, membawa kebebasan baru dan kebahagiaan. Namun, sebuah studi baru menemukan bahwa stres dan trauma sebagai mahasiswa saat ini berdampak besar pada kesehatan mental. Para peneliti dari Universitas Alabama di Birmingham telah menemukan peningkatan angka PTSD dan diagnosis gangguan stres akut di kalangan pelajar di dunia.
Dikutip dari study finds (31/5), dalam penelitian besar yang mencakup 332 perguruan tinggi dan universitas di seluruh Amerika Serikat, tim tersebut menemukan peningkatan mengejutkan dalam prevalence of post-traumatic stress disorder (PTSD) atau prevalensi gangguan stres pascatrauma dan gangguan stres akut (ASD) di kalangan pelajar dari tahun 2017 hingga 2022.
Penelitian baru yang dipublikasikan di JAMA Network Open menemukan bahwa di antara hampir 400.000 siswa yang disurvei, prevalensi kasus PTSD melonjak dari 3,4% pada tahun 2017-2018 hingga 7,5% pada tahun 2021-2022. Diagnosis gangguan stres akut juga meningkat secara substansial, dari 0,2% menjadi 0,7% pada periode yang sama.
PTSD adalah suatu kondisi kesehatan mental yang dapat berkembang setelah seseorang mengalami atau menyaksikan peristiwa mengerikan seperti kekerasan, bencana, atau pelecehan. Gejalanya meliputi kilas balik, mimpi buruk, kecemasan parah, dan pikiran tak terkendali tentang peristiwa traumatis.
Gangguan stres akut memiliki gejala yang serupa tetapi terjadi dalam jangka waktu yang lebih singkat yaitu tiga hari hingga satu bulan setelah trauma. Kedua kondisi tersebut dapat sangat mengganggu kehidupan sehari-hari dan kinerja akademis.
“Tren ini menyoroti meningkatnya tantangan kesehatan mental di kalangan mahasiswa, hal ini konsisten dengan penelitian terbaru yang melaporkan peningkatan diagnosis psikiatri,” tulis pemimpin peneliti Dr. Yusen Zhai dalam laporan ini.
Para peneliti menunjukkan kombinasi faktor di balik peningkatan yang mengkhawatirkan ini. Pandemi COVID-19 menimbulkan stres dan trauma berat bagi banyak siswa, termasuk kesedihan atas kehilangan orang yang mereka cintai. Penembakan di kampus dan insiden kekerasan lainnya juga menimbulkan dampak psikologis yang parah.
Menurut tim, semua hal ini sangat membebani kecemasan yang biasa terjadi akibat tekanan akademis, tantangan sosial, dan transisi besar dalam hidup yang muncul saat menjadi dewasa muda di perguruan tinggi.
PTSD dan stres akut bukanlah hal yang main-main. Hal ini dapat menyebabkan masalah kesehatan mental jangka panjang yang serius dan menggagalkan seluruh karir akademis siswa jika tidak ditangani. Pada tingkat yang paling parah, gangguan ini meningkatkan risiko penyalahgunaan zat, depresi, dan bunuh diri. Ada juga dampak sosial yang luas. PTSD telah dikaitkan dengan berkurangnya produktivitas tenaga kerja ketika siswa lulus. Selain itu, beban ekonomi dalam menyediakan layanan kesehatan bagi penderita PTSD sangat besar.
Oleh karena itu, perguruan tinggi dan universitas mempunyai kepentingan dalam memprioritaskan sumber daya kesehatan mental. Para peneliti menyerukan “strategi pencegahan dan intervensi yang tepat sasaran dan berdasarkan informasi trauma” dari konselor, layanan kesehatan, administrator, dan pembuat kebijakan.
Studi ini mencatat bahwa hal ini harus mencakup akses yang lebih besar terhadap konseling dan terapi, terutama perawatan yang berfokus pada trauma, yang paling efektif untuk PTSD. Kelompok dukungan kampus, akomodasi fleksibel dari fakultas, dan program yang menghilangkan stigma terhadap pencarian bantuan juga penting.
Penjangkauan dan pendidikan adalah kuncinya karena banyak siswa mungkin tidak menyadari bahwa mereka menderita kondisi yang dapat diobati seperti PTSD atau gangguan stres akut. Semakin mereka memahami gejala dan dampaknya, semakin baik mereka dapat menjaga kesehatan mentalnya.