Pengrajin Anyaman Bambu di Pandeglang: Warisan Tradisi di Tengah Arus Modernisasi. Foto : Istimewa
Banten, tvrijakartanews - Di tengah derasnya arus kemajuan teknologi dan modernisasi, sekelompok pengrajin anyaman bambu di Kampung Pakuhaji Girang, Desa Saninten, Kecamatan Kaduhejo, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten, tetap setia menjaga tradisi yang telah berlangsung turun-temurun.
Keterampilan menganyam bilah bambu menjadi perabotan rumah tangga ini tak hanya menjadi sumber mata pencaharian, tetapi juga bentuk pelestarian budaya yang berharga.
Hesti, salah satu pengrajin, dengan bangga mengungkapkan bahwa keahlian menganyam yang dimilikinya diwariskan dari generasi ke generasi. Keterampilannya itu ia pelajari dari orang tuanya, lalu orang tuanya dari orang tuanya. Jadi, keahliannya itu merupakan warisan yang terus dijaga
"Jadi keterampilan menganyam ini saya dapatkan dari orang tua saya, terus orang tua saya mendapatkannya dari nenek. Jadi turun temurun keahlian menganyam ini kami dapatkan," kata Hesti kepada wartawan yang dikutip, Kamis (12/12/2024).
Bertahan di Tengah Gempuran Produk Modern
Meski perabotan berbahan plastik semakin mendominasi pasar, Hesti dan pengrajin lainnya tetap percaya diri dengan produk tradisional mereka.
Ia berusaha mempertahankan tradisi ini dan berharap bisa mewariskannya kepada anak cucu agar tidak hilang ditelan zaman.
"Insya Allah kami akan terus mempertahankan tradisi menganyam ini, dan akan saya wariskan kepada anak cucu agar tidak hilang ditelan zaman," jelas Hesti.
Keuletan dan Dedikasi di Balik Anyaman
Proses menganyam dilakukan secara manual dengan teknik tradisional. Setiap bilah bambu dipilih, dipotong, dan dianyam dengan teliti hingga menjadi produk seperti kipas, kukusan, tampah, atau nyiru. Produk-produk ini dijual dengan harga yang sangat terjangkau, mulai dari Rp3.000 hingga Rp30.000, tergantung jenis dan ukurannya.
"Anyaman yang saya buat ini seperti kipas, kukusan, serta tampah atau nyiru. Biasa menjual mulai dari harga 3 ribu sampai 30 ribu rupiah, tergantung ukuran barangnya," jelas Hesti.
Eksistensi di Pasar Modern
Hesti dan para pengrajin lain kerap memasarkan hasil anyaman mereka dengan cara tradisional, yakni berkeliling dari satu kampung ke kampung lain. Namun, produk mereka juga memiliki daya tarik hingga ke luar daerah seperti Bandung, Garut, bahkan Jakarta.
"Kalau untuk penjualan, biasanya saya berkeliling ke setiap kampung. Ada juga pembeli yang dari Pandeglang, dan ada yang dari luar Pandeglang seperti Bandung, Garut, bahkan Jakarta, dan biasanya mereka memesan terlebih dahulu," kata Hesti.
Keberlanjutan kerajinan anyaman bambu di Kampung Pakuhaji Girang ini menjadi bukti bahwa nilai tradisional mampu bertahan di tengah modernisasi. Para pengrajin seperti Hesti bukan hanya mempertahankan tradisi, tetapi juga memberikan inspirasi bahwa warisan budaya dapat terus hidup dan berdaya guna, selaras dengan kebutuhan zaman.
Tradisi menganyam bambu bukan sekadar pekerjaan bagi Hesti dan pengrajin lainnya, melainkan simbol keteguhan hati untuk menjaga warisan leluhur di tengah tantangan zaman.