Eksplorasi Bentuk & Warna Alam dalam Busana: Cerita di Balik Koleksi "Kikyō"
FeatureNewsHot
Redaktur: Heru Sulistyono

Koleksi "Kikyō" karya Designer Nila Baharuddin di Indonesia Design District / foto: Sanrifa Akmalia

Jakarta, tvrijakartanews - Di panggung mode kali ini, detail-detail kecil justru menjadi bagian paling menarik untuk diamati. Siluet ber-volume, lengan bulat menyerupai balon, hingga lipatan-lipatan yang mengingatkan pada origami, tampak mengalir dari satu busana ke busana lain dalam koleksi terbaru Nila Baharuddin. Desainer ini menyebut bahwa permainan volume dan cutting memang sudah menjadi DNA karyanya sejak lama, bukan sekadar mengikuti tren.

Kesan natural juga hadir kuat lewat pemilihan bahan. Sejumlah busana memanfaatkan kain tenun bali dengan warna-warna alam yang lembut. Warna-warna tersebut, kata Nila, berasal dari berbagai tanaman, mulai dari indigo hingga manga. Menariknya, warna yang dihasilkan tidak selalu sesuai dugaan awal. “Mangga nggak selalu kuning. Bisa hijau juga, tergantung jenisnya,” ujarnya dalam konferensi pers di Indonesia Design District (26/10). Ada pula warna pink yang muncul dari kayu secang, memperkaya variasi warna dalam koleksi.

Perihal material, Nila mengaku tidak terpaku pada satu jenis kain. Katun, silk, dan jacquard menjadi beberapa pilihan yang ia anggap paling mampu membentuk karakter volume yang ia sukai. Jacquard, misalnya, memberi struktur yang cukup kokoh untuk menciptakan lengan balon maupun bentuk kimono berlayer.

Motif-motif bunga yang muncul di beberapa look juga membawa sentuhan Jepang, meski tidak secara eksplisit meniru sakura. Menurutnya, warna dan nuansa lembut itulah yang lebih ingin ia tonjolkan, ketimbang menyalin motif secara harfiah. Semua bahan yang digunakan pun berasal dari dalam negeri, termasuk lurik yang menjadi material utama untuk produk home living seperti bed cover hingga bantal.

Menariknya, sebagian karya home living itu dikerjakan dari kain-kain sisa. Nila memotong potongan lurik kecil-kecil, menyusunnya kembali berlapis-lapis, kemudian menjahitnya ulang hingga menjadi sarung bantal atau selimut. Proses ini makan waktu, tapi ia menganggapnya sebagai bentuk tanggung jawab pada material dan pengerjaan yang teliti.

Segmen home living ini sendiri sudah lebih dulu mendapatkan tempat di Jepang. Menurut Nila, pasar Jepang punya standar ketat, mulai dari ketahanan warna, kemungkinan serat menempel pada pakaian lain, hingga pemeriksaan jarum pada jahitan. Bahkan letak kancing pun harus presisi hingga hitungan milimeter. “Kalau bisa lolos kurasi Jepang, ke negara lain biasanya lebih mudah,” katanya.

Koleksi terbaru ini diberi nama “帰郷 ~Kikyō~ ” yang berarti “kembali.” Lewat 30 look yang ia tampilkan, Nila ingin menggambarkan perjalanan kembali ke akar karya dan warisan keluarga, termasuk penggunaan warna alam yang menjadi ciri khas koleksi tersebut. Sebagian karya akan dibawa ke Jepang, sementara sisanya tetap dipamerkan di Indonesia.

Menurutnya, perpaduan budaya Jepang dan Indonesia dalam koleksi kali ini bukan sekadar visual. Ada makna yang disampaikan lewat teknik, bentuk, hingga cara melihat detail. “Banyak yang tahu Jepang, tapi detailnya jarang diperhatikan,” ucapnya. Baginya, setiap koleksi adalah bentuk cerita, dan cerita itu ia hadirkan melalui detail kecil yang mungkin tidak semua orang langsung tangkap pada pandangan pertama.