Ketua DPP Partai Golkar, Dave Akbarshah Fikarno Laksono. Foto Istimewa
Jakarta, tvrijakartanews - Anggota Komisi I DPR RI, Dave Akbarshah Fikarno Laksono menyebut rapat Badan Legislasi DPR RI yang digelar hari ini memang untuk membahas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal penurunan ambang batas pencalonan pilkada. Menurut Ketua DPP Partai Golkar itu, rapat diperlukan untuk mendalami putusan NK yang baru terbit pada Selasa kemarin.
"Karena kan sesudah keluar itu kan (putusan MK), harus ada kejelasannya kan. Maka itu lah dari baleg itu mempelajari lagi untuk menegaskan. Supaya tidak ada multitafsir lah atas putusan tersebut," ujar Dave di Gedung JCC Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (21/8/2024).
Namun, Dave memastikan rapat itu bukan untuk membatalkan putusan MK. Anggota dewan, kata dia, ingin aturan itu disesuaikan dengan Undang-Undang yang berlaku.
Selain itu, Dave menyebut pihaknya juga perlu mendengar masukan dari berbagai partai politik soal putusan MK itu.
"Masing-masing partai harusnya menyampaikan pandangannya. Jadi sebelum kita menyikapi lebih dalam, agar dipelajari dulu putusannya seperti apa. Terus juga nanti kan berkaitan kepada aturan-aturan turunan lainnya lagi, karena mengingat waktu pendaftaran tinggal beberapa hari lagi kan," kata dia.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan terbaru dengan Nomor 60/PUU-XXII/2024. MK menafsirkan ulang syarat persentase suara selain kursi untuk bisa memajukan calon kepala daerah sesuai jumlah penduduk yg ada di wilayah tersebut.
Untuk mengusulkan calon gubernur dan calon wakil gubernur, persentase syarat minimal suara diubah menjadi 10 persen untuk wilayah dengan jumlah penduduk 0-2 Juta jiwa, lalu 8,5 persen untuk wilayah dengan jumlah penduduk 2-6 Juta jiwa, 7,5 persen untuk wilayah dengan jumlah penduduk 6-12 juta jiwa, dan 6,5 persen untuk wilayah dengan jumlah penduduk lebih dari 12 Juta jiwa.
Untuk mengusulkan calon bupati dan calon wakil bupati ataupun calon wali kota dan calon wakil wali kota, persentase syarat minimal suara diubah menjadi 10 persen untuk wilayah dengan jumlah penduduk 0-250 ribu jiwa, 8,5 persen untuk wilayah dengan jumlah penduduk 250rb-500 ribu jiwa, 7,5 persen untuk wilayah dengan jumlah penduduk 500 ribu-1 juta jiwa, dan 6,5 persen untuk wilayah dengan jumlah penduduk lebih dari 1 juta jiwa.