
Gedung Pengadilan Negeri Batulicin yang menyidangkan kasus alih muat batu bara antara PT IMC Pelita Logistik Tbk (IMC) dengan PT Sentosa Laju Energy (SLE). Foto Istimewa
Jakarta, tvrijakartanews - Kasus alih muat batu bara antara PT IMC Pelita Logistik Tbk (IMC) dengan PT Sentosa Laju Energy (SLE) segera mencapai babak akhir. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Batulicin dijadwalkan membacakan putusannya pada Selasa (5/11/2024).
Kuasa hukum terdakwa, Sabri Noor Herman, meminta hakim agar memutuskan perkara sesuai fakta persidangan.
“Jika putusan tidak mencerminkan fakta di persidangan, kami akan menempuh jalur hukum yang tersedia, seperti ke Komisi Yudisial (KY) dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung,” ujarnya pada Senin (4/11/2024).
Kontrak alih muat batu bara antara IMC dan SLE diteken pada 1 September 2022 di Kalimantan Timur. Salah satu pihak di SLE adalah Tan Paulin, yang dikenal sebagai Ratu Batubara di Kalimantan Timur. Namanya disorot setelah rumahnya digeledah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Juli 2024 dalam penyelidikan dugaan gratifikasi dan TPPU terkait kasus mantan Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari.
Namun, kontrak bisnis ini berujung dakwaan pidana terhadap dua mantan direksi dan seorang mantan manajer IMC dengan tuduhan melanggar Pasal 404 Ayat 1 KUHP. Sabri menilai dakwaan ini dipaksakan, mengingat Pasal 404 biasanya terkait perjanjian kredit dan jaminan tanah, bukan kontrak bisnis alih muat.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi Kalsel dan Kejaksaan Negeri Tanah Bumbu menuntut ketiganya dengan hukuman penjara satu tahun dan meminta kapal FC Ben Glory dirampas negara sebagai ganti rugi untuk SLE. Namun, Sabri mempertanyakan dasar hukum tuntutan tersebut. Menurutnya, tidak ada bukti kuat terkait pasal yang didakwakan. “Ketika saksi pelapor Tan Paulin dan Denny Irianto, Direktur Utama SLE, dihadirkan, mereka membenarkan bahwa tidak ada perjanjian selain kontrak alih muat. Jadi, dakwaan ini tidak berdasar,” kata Sabri.
Ia juga menegaskan, kapal FC Ben Glory adalah milik IMC dan tidak ada bukti yang mengaitkan kapal itu dengan tindakan kriminal. Sabri meminta majelis hakim membebaskan terdakwa dari seluruh dakwaan dan mengembalikan kapal kepada IMC.
Pakar hukum Universitas Trisakti, Profesor Elfrida Ratnawati Gultom, turut memperkuat pembelaan terdakwa. Menurut Elfrida, kontrak ini sepenuhnya memenuhi syarat perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata dan seharusnya masuk ranah perdata. “Segala perselisihan terkait perjanjian ini lebih tepat diselesaikan melalui mekanisme perdata seperti arbitrase,” ujar Elfrida di persidangan.
Elfrida menjelaskan, selama kontrak dipatuhi, tidak ada dasar untuk membawa kasus ini ke ranah pidana. Selain itu, peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1956 menegaskan bahwa sengketa perdata perlu diselesaikan terlebih dahulu sebelum perkara pidana diputuskan.
Pendapat Elfrida diperkuat oleh putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) pada 20 September 2024 yang memenangkan IMC. BANI memutuskan bahwa perjanjian alih muat sah dan mengikat kedua pihak. BANI juga menyatakan bahwa SLE wanprestasi dalam penjadwalan dan pembayaran tagihan, sehingga harus membayar IMC sebesar Rp1,68 miliar dan bunga moratorium Rp73 juta.
Sabri menegaskan bahwa putusan BANI meneguhkan bahwa kasus alih muat ini adalah sengketa perdata. “Tak ada pelanggaran perjanjian, apalagi perbuatan pidana,” kata Sabri.