
Presiden Prabowo Subianto dipastikan akan menyampaikan pidato dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-80 yang digelar di New York, Amerika Serikat, pada 23 September 2025. Foto Sekretariat Presiden
Jakarta, tvrijakartanews – Presiden Prabowo Subianto dipastikan akan menyampaikan pidato dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-80 yang digelar di New York, Amerika Serikat, pada 23 September 2025. Prabowo mendapat giliran berbicara sebagai kepala negara urutan ketiga setelah Brasil dan Amerika Serikat.
Informasi tersebut disampaikan Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri, Tri Tharyat, dalam press briefing di Jakarta. Menurutnya, posisi itu ditentukan tradisi panjang dalam sidang PBB.
“Beliau (Presiden Prabowo) akan diberikan kesempatan sebagai pembicara ketiga, atau berdasarkan hasil undian sebenarnya menjadi pembicara pertama. Namun, by default pembicara pertama selalu Brasil dan pembicara kedua adalah Presiden Amerika Serikat. Ini berkaitan dengan tradisi sejak PBB berdiri,” ujar Tri Jumat (12/09/2025).
Sidang Majelis Umum ke-80 PBB resmi dibuka Selasa (9/9/2025) waktu setempat oleh Annalena Baerbock, presiden baru Majelis Umum PBB. Tahun ini, sidang tersebut berlangsung dengan tema “Better Together: 80 Years and More for Peace, Development, and Human Rights” atau “Bersama Lebih Baik: 80 Tahun dan Seterusnya untuk Perdamaian, Pembangunan, dan Hak Asasi Manusia”.
Baerbock dalam pidato pembukaannya menegaskan bahwa sidang kali ini bukanlah sesi biasa. Ia menyoroti berbagai krisis kemanusiaan yang masih terjadi di dunia, mulai dari anak-anak yang kelaparan di Gaza, larangan sekolah bagi perempuan di Afghanistan, hingga perempuan di Darfur yang harus menyembunyikan anak-anak mereka demi keselamatan.
“Delapan puluh tahun. Lebih lama dari rata-rata panjang umur manusia. Biasanya hal ini akan menjadi momen untuk dirayakan, namun apakah kita benar-benar berada dalam suasana untuk merayakannya?” kata Baerbock, seperti dikutip Antara.
Ia juga menyinggung ancaman kenaikan permukaan laut yang melanda negara-negara kepulauan Pasifik, serta fakta bahwa 808 juta orang di dunia masih hidup dalam kemiskinan ekstrem.
“Alih-alih merayakan, seseorang kemungkinan bertanya, di mana PBB yang dibentuk untuk menyelamatkan kita dari neraka?” lanjutnya.
Meski begitu, Baerbock menegaskan bahwa PBB tetap memiliki peran sentral. “Dunia tetap memerlukan PBB, dan PBB tetap menjadi satu-satunya organisasi yang dapat mempertemukan semua negara di dunia sekaligus bertindak dalam lingkup global,” ujarnya.