Dari Madrasah untuk Bumi: Spirit Ekoteologi Generasi Z
NewsHot
Redaktur: Heru Sulistyono

Ahmad Ali Rayyan Shahab mengajak Gen Z merawat bumi. Foto : Istimewa

Depok, tvrijakartanews – Ibadah tak hanya berbentuk ritual di tempat ibadah. Di tengah krisis iklim dan rusaknya ekosistem global, merawat bumi kini menjadi bagian dari ekspresi iman. Gagasan itu mengemuka kuat dalam forum Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) 2025 yang digelar di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Depok, 29–30 Oktober 2025.

Forum tahunan ini menjadi ruang dialog antara pemerintah, akademisi, dan generasi muda untuk membangun kesadaran kolektif terhadap krisis lingkungan dari perspektif keagamaan. Menteri Agama RI Nasaruddin Umar dalam sambutannya menegaskan, pelestarian lingkungan bukan sekadar urusan teknis, melainkan juga panggilan spiritual dan moral.

“Tanpa bahasa religius, akan sulit menggerakkan hati umat untuk menyelamatkan lingkungan. Krisis ekologi ini adalah persoalan spiritual dan moral,” ujar Menag.

Ia memperkenalkan konsep ekoteologi kasih sayang, yakni cara pandang teologis yang menempatkan kasih sebagai dasar hubungan manusia dengan alam—selaras dengan nilai-nilai Asmaul Husna.

Salah satu sesi menarik dalam AICIS tahun ini adalah Science Talkshow Madrasah, yang menampilkan siswa MAN Insan Cendekia Pekalongan, Ahmad Ali Rayyan Shahab dan Raddinia Kejora Bagaskoro. Dalam presentasi berjudul “Eco-Theology in Action: Building a Sustainable Future”, Rayyan mengajak publik untuk menempatkan teologi sebagai panduan moral dalam menjaga bumi.

Ia mengutip ayat-ayat suci dari Al-Qur’an, Alkitab, dan prinsip Ahimsa dalam Buddhisme untuk menunjukkan kesatuan nilai lintas agama dalam membangun etika ekologis. Dihadapan peserta internasional, Rayyan memaparkan sejumlah inisiatif lingkungan di madrasahnya, mulai dari pengelolaan biogas dari limbah ikan dan sayuran, hingga pemanfaatan eceng gondok sebagai penyerap logam berat limbah batik.

“Saya memberikan apresiasi tinggi kepada Kementerian Agama dan madrasah dalam mendorong siswa untuk peduli dan menghayati lingkungan sebagai bagian dari iman,” ujar Rayyan, peserta program pertukaran pelajar AFS di Finlandia (2024/2025) sekaligus penggagas gerakan pelajar Atma Bawana.

Selain aksi nyata, Rayyan dan rekan-rekannya juga aktif menulis dan mengampanyekan isu lingkungan di berbagai media. Ia menilai peran Kementerian Agama melalui program Green Waqf dan pendidikan lingkungan berbasis nilai spiritual menjadi fondasi penting perubahan.

“Madrasah bukan hanya tempat mencetak insan berilmu, tetapi juga insan yang mencintai alam sebagai wujud iman,” tegasnya.

Melalui pendekatan lintas iman dan inovasi teknologi sederhana, generasi muda madrasah menunjukkan bahwa kepedulian terhadap bumi bisa lahir dari ruang pendidikan agama. Dari sinilah, pesan AICIS 2025 menggema: menjaga alam bukan sekadar tugas manusia—tetapi wujud nyata dari keimanan itu sendiri.