Sejarah Masjid Kali Pasir Tangerang, Jejak Penyebaran Islam di Wilayah Benteng
FeatureNewsHotAdvertisement
Redaktur: TVRI Jakarta Portal Team

Foto : Dokumentasi Isty/TVRI. Salah satu ciri khas dari Masjid Kali Pasir adalah struktur bangunan yang memiliki ornamen bercorak Tionghoa dalam bentuk pagoda di atap kubah masjid berwarna emas.

Tangerang, tvrijakartanews - Berkunjung ke Kota Tangerang rasanya tak lengkap jika tidak mampir ke kawasan Pasar Lama. Bukan sekedar mencari jajanan unik, tapi juga sekaligus menyusuri jejak penyebaran agama Islam di wilayah yang terkenal dengan sebutan Benteng ini.

Ada satu masjid yang menyimpan banyak catatan mengenai penyebaran agama Islam di Tangerang. Masjid Kalipasir namanya, masjid ini terletak tepat di pinggir Sungai Cisadane dan berdekatan dengan Klenteng Boen Tek Bio. Meski bangunannya sederhana dan seperti tersembunyi, warga yang sering mengunjungi Pasar Lama pasti tak asing dengan masjid satu ini.

Penasehat DKM Kali Pasir, Ahmad Sjairodji menjelaskan bahwa masjid tersebut dulu adalah tempat tinggal Ki Tengger Jati dari Kerajaan Galuh Kawali yang terletak di Sukabumi. Ki Tengger Jati saat itu diperintahkan oleh gurunya untuk menyebarkan agama Islam di tempat lain. Hingga akhirnya tibalah Ki Tengger Jati di sebuah hutan yang bersisian dengan aliran sungai, lalu menetap dan membuat gubuk kecil untuk tempat beribadah.

"Kalau ditelusuri awalnya, itu sekitar tahun 1412 Ki Tengger Jati datang kemari untuk menyebarkan agama Islam. Bikin gubuk kecil, dan digunakan untuk beribadah," ujar Sjairodji, Jumat (15/3/2024).

Keberadaan gubuk kecil itupun lantas makin sering disinggahi banyak orang karena lokasinya yang dekat dengan Sungai Cisadane. Kala itu, Sungai Cisadane memang menjadi jalur perdagangan yang cukup padat. Tak hanya sekedar mampir, makin hari makin banyak orang yang menetap di sekitar gubuk kecil itu dan berkeluarga di wilayah yang kini dikenal dengan nama Kali Pasir.

"Dulu, Sungai Cisadane ini kan ramai orang lewat, pakai kapal besar karena memang jalur perdagangan. Makin banyak yang mampir, tapi lama-lama malah menetap di sini," lanjut Sjairodji.

Karena makin banyaknya penduduk di sekitar gubuk kecil itu, maka Ki Tengger Jati pun memutuskan untuk memperbesar gubuk agar menjadi tempat ibadah yang layak. Seiring berjalannya waktu, tempat tersebut diperbesar kembali dan akhirnya menjadi masjid.

"Karena makin ramai, makin banyak yang tinggal di sini, akhirnya diperluas supaya bisa menampung banyak jemaah yang mau beribadah di gubuk kecil tadi," lanjutnya.

Masjid tersebut akhirnya semakin dikenal oleh banyak orang, para sultan dari kerajaan Islam di Pulau Jawa pun kerap mengunjungi masjid tersebut. Sehingga masjid tersebut masih berhubungan dengan Kesultanan Cirebon, Kesultanan Banten, dan Kesultanan Demak. Bahkan salah satu ulama dari Persia pun singgah di Kali Pasir, dengan tujuan menyebarkan ajaran Islam ke daerah Banten.

"Tahun 1608 kedatangan dari Kerajaan Kahuripan Bogor, dan mengurus masjid juga diperbesar. Tahun 1671 barulah kepengurusan diserahkan ke putranya Tumenggung Pamit Wijaya, dan kemudian berlanjut pada keturunan beliau," jelas Sjairodji.

Tak ada yang tau pasti kapan gubuk singgah itu berubah menjadi masjid. Namun, ada satu literasi yang mengatakan bahwa masjid berdiri pada tahun 1576. Kemudian oleh pemerintah setempat dijadikan bangunan cagar budaya pada tahun 2011, berdasarkan surat keputusan dari Walikota Tangerang.

"Yang menetapkan tahun berdirinya masjid adalah Kiai Shobari orang Kalipasir asli, sekarang orangnya masih ada. Beliau ini adalah ahli hikmah jadi kemungkinan tahu lebih banyak soal kejadian dulu," ujar Sjairodji.

Sampai saat ini, masjid tersebut masih terjaga keasliannya. Meskipun berkali-kali mengalami perubahan, namun bentuk atap masjid yang tidak menggunakan kubah serta menara masih seperti bentuk aslinya. Selain itu, di dalam masjid juga masih ada 4 tiang penyangga yang dipercaya sudah ada sejak pertama masjid berdiri.

"Ini 4 tiang ini kata cerita orang tua ada sudah dulu sekali, salah satunya pemberian Sunan Kalijaga. Dan kalau lihat di atas itu ada yang namanya Baluarsi, juga diberikan oleh Sultan Ageng Tirtayasa Banten," jelasnya.

Masjid ini memang tak seluas masjid kebanyakan, bahkan tak ada kubah megah yang biasanya ada di bangunan masjid. Namun, melihat banyaknya makam kuno yang ada di halaman masjid membuktikan bahwa masjid ini memang menyimpan sejuta cerita penyebaran Islam lebih dari seribu tahun lalu.