FOTO: BALI, INDONESIA (20 JUNI 2024/REUTERS)
Jakarta, tvrijakartanews - Nyoman Sugiarto dikejutkan saat mengetahui ribuan karang yang susah payah dipeliharanya di perairan lepas pantai Bali memutih pada pada akhir Desember tahun lalu. Hanya dalam beberapa minggu, upaya konservasinya selama bertahun-tahun terhenti karena suhu laut yang lebih hangat dari biasanya dan dipicu oleh perubahan iklim.
Nyoman, seorang instruktur selam lokal berusia 51 tahun, pernah menyaksikan hal ini sebelumnya. Pertama kali, pada tahun 2010, ia mengira karang tersebut tampak indah karena berubah warna menjadi putih mutiara. Namun kemudian ia menyadari bahwa keindahan tersebut harus dibayar mahal, terumbu karang sebenarnya sudah memutih dan terancam mati, demikian yang kemudian diberitahukan oleh seorang ahli karang kepadanya. Wilayah ini dilanda peristiwa pemutihan massal kedua pada tahun 2016.
Dipicu oleh tekanan panas, pemutihan karang terjadi ketika karang mengeluarkan alga berwarna-warni yang hidup di jaringannya. Tanpa alga yang bermanfaat ini, karang menjadi pucat dan rentan terhadap kelaparan, penyakit, atau kematian. Berdasarkan pengumpulan data dan penelitiannya sendiri, Nyoman memperkirakan sekitar 90% karang di wilayahnya telah memutih.
“Terumbu karang saat itu hampir 90% memutih. Apa pun jenis karangnya, apakah itu bercabang atau besar, semuanya berwarna putih. Jadi kami kaget dan tentu saja berdampak buruk pada karang. Bukan hanya yang alami, tapi yang kita tanam itu yang bikin sengsara, banyak karang yang kita tanam mati,” kata Nyoman yang telah menanam sedikitnya 6.000 substrat buatan di laut untuk menumbuhkan terumbu karang.
Pada bulan April, Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional AS (NOAA) menerbitkan laporan yang mengonfirmasi bahwa terumbu karang di dunia sedang mengalami peristiwa pemutihan global akibat perubahan iklim. Menurut laporan tersebut, ini merupakan peristiwa global keempat yang pernah tercatat dan kedua dalam 10 tahun terakhir.
Nyoman telah dianggap sebagai pahlawan konservasi lokal di desanya Bondalem selama 17 tahun terakhir, memantau kehidupan terumbu karang di laut, di lepas pantai bagian utara pulau resor Bali.
“Kami berharap semakin banyak masyarakat yang sadar dan ikut beraksi bersama kami. Selain itu, kami juga berharap dapat memulihkan seluruh karang yang dulu ada di Bondalem karena menurut sesepuh kami, terumbu karang di sini sangat indah,” ujarnya.
Namun ia yakin upwelling tidak akan cukup untuk menyelamatkan terumbu karang dari ancaman perubahan iklim. Sejauh ini suhu dunia telah meningkat sebesar 1,2 derajat Celcius dibandingkan suhu pada masa pra-industri, dan bukti ilmiah menunjukkan bahwa dunia telah mencapai titik kritis dimana 70% hingga 90% terumbu karang di dunia diperkirakan akan mati akibat pemanasan tersebut.
Tahun lalu, menurut badan meteorologi sekitar dua pertiga wilayah Indonesia termasuk pulau tetangga Jawa mengalami musim kemarau terparah sejak 2019 akibat fenomena cuaca El Nino yang berlangsung lebih lama dari biasanya.
Marthen Welly, penasihat konservasi laut di Coral Triangle Center, organisasi nirlaba lingkungan hidup mengatakan terumbu karang di Indonesia lebih tangguh dibandingkan daerah lain dan cenderung pulih lebih cepat akibat terjadinya upwelling, sebuah proses yang membawa air lebih dingin dari kedalaman laut ke perairan. perairan dangkal tempat hidup karang, sehingga menghasilkan suhu permukaan yang lebih dingin dari rata-rata.
“Pemutihan karang akibat pemanasan global terjadi di banyak negara terutama di kawasan Indo-Pasifik, namun terumbu karang di Indonesia lebih tangguh dibandingkan kawasan lain. Hal itu disebabkan adanya proses upwelling di Indonesia yaitu naiknya air dingin dari permukaan laut. dasar laut ke permukaan yang bercampur dengan air hangat, sehingga suhu di permukaan menurun,” kata Marthen.