Ilustrasi Isra Mi'raj / foto: Artur Aaldyrkhanov
Jakarta, tvrijakartanews - Isra Mi’raj adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam yang diperingati oleh umat Muslim di seluruh dunia. Peristiwa ini merupakan perjalanan malam luar biasa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW untuk menerima perintah salat lima waktu langsung dari Allah SWT. Dalam perjalanan ini, Nabi Muhammad SAW menempuh dua fase utama, yakni Isra dan Mi’raj, yang menjadi bagian dari perjalanan spiritualnya menuju Sidratul Muntaha.
Kapan Isra Mi’raj Terjadi?
Dilansir dari laman Kemenag, menurut catatan sejarah Isra Mi’raj terjadi pada periode akhir kenabian di Makkah, sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Pendapat yang populer menyebutkan bahwa peristiwa ini terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-10 kenabian, atau sekitar tahun 620-621 M. Namun, para ulama memiliki perbedaan pendapat mengenai waktu pastinya.
Sejarawan Islam seperti al-Allamah al-Manshurfuri berpendapat bahwa Isra Mi’raj terjadi pada tahun ke-10 kenabian, sebelum hijrah. Namun, Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri menyebutkan enam pendapat berbeda terkait waktu kejadian ini, mengingat pada saat itu Khadijah RA baru saja wafat pada bulan Ramadhan tahun ke-10 kenabian, dan saat itu salat lima waktu belum diwajibkan. Dengan demikian, hingga kini tidak ada kepastian mengenai tanggal pasti terjadinya Isra Mi’raj.
Perjalanan Spiritual Isra Mi’raj
Isra Mi’raj bukan sekadar perjalanan biasa, melainkan sebuah perjalanan suci yang menjadi titik balik dalam dakwah Islam. Dalam fase Isra, Nabi Muhammad SAW "diberangkatkan" dari Masjidil Haram di Makkah menuju Masjidil Aqsa di Yerusalem dalam waktu yang sangat singkat dengan menaiki Buraq. Kemudian, perjalanan berlanjut ke fase Mi’raj, di mana Nabi Muhammad SAW naik ke langit hingga mencapai Sidratul Muntaha.
Di Sidratul Muntaha, Rasulullah SAW bertemu langsung dengan Allah SWT dan menerima perintah untuk menunaikan salat lima waktu. Awalnya, salat diwajibkan sebanyak 50 kali sehari, namun setelah beberapa kali permohonan yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW, jumlah tersebut akhirnya dikurangi menjadi lima waktu dalam sehari. Peristiwa ini menegaskan bahwa salat merupakan ibadah utama dalam Islam yang memiliki dimensi spiritual tinggi.
Makna Isra Mi’raj bagi Umat Islam
Isra Mi’raj tidak hanya menjadi bukti keagungan dan kebesaran Allah SWT, tetapi juga menjadi perjalanan spiritual yang menginspirasi umat Islam. Menurut para sufi, perjalanan ini melambangkan perjalanan ruhani seorang hamba menuju Tuhannya, meninggalkan dunia yang fana untuk mencapai tingkatan spiritual yang lebih tinggi.
Sejarawan Islam, Seyyed Hossein Nasr, dalam bukunya Muhammad Kekasih Allah (1993), menyebutkan bahwa pengalaman ruhani Nabi Muhammad SAW dalam Mi’raj mencerminkan hakikat spiritual dari ibadah salat. Dalam arti lain, salat adalah bentuk Mi’raj bagi setiap orang beriman, di mana melalui ibadah ini seorang Muslim dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Selain itu, dalam momen Isra Mi’raj, Rasulullah SAW juga mendapatkan penghormatan langsung dari Allah SWT. Salah satu percakapan yang diabadikan dalam tradisi Islam adalah ketika Rasulullah SAW mengucapkan, "Attahiyatul mubaarakaatush shalawatuth thayyibatulillah" (Segala penghormatan, kemuliaan, dan keagungan hanyalah milik Allah). Lalu Allah SWT menjawab, "Assalamu’alaika ayyuhan nabiyu warahmatullahi wabarakaatuh".
Isra Mi’raj dan Kewajiban Salat Lima Waktu
Bagi umat Islam, Isra Mi’raj memiliki makna yang mendalam karena dalam peristiwa inilah salat lima waktu diwajibkan. Tidak ada Nabi lain yang mendapatkan perjalanan hingga Sidratul Muntaha seperti yang dialami oleh Rasulullah SAW. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya ibadah salat dalam Islam, bukan sekadar ritual, tetapi juga sebagai sarana komunikasi langsung dengan Allah SWT.
Sebagai refleksi dari Isra Mi’raj, umat Islam diingatkan untuk selalu menjaga salat lima waktu sebagai bentuk kepatuhan dan kedekatan dengan Allah SWT. Peristiwa ini juga mengajarkan tentang keimanan dan keteguhan hati dalam menghadapi tantangan, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan wahyu kepada umatnya.