Mahkamah Konstitusi Tolak Gugatan Larangan Pimpinan KPK Hubungi Tersangka Korupsi
Cerdas MemilihNewsHot
Redaktur: Heru Sulistyono

Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto Istimewa

Jakarta, tvrijakartanews - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi atau judicial review mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata yang menguji Pasal 36 huruf a UU KPK soal larangan pimpinan KPK berhubungan dengan tersangka korupsi. MK menilai aturan tersebut tidak diskriminatif.

"Menolak permohonan Pemohon I untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta, Jumat (3/1/2025).

Alexander Marwata mengajukan uji materi atau judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tetang KPK. Alexander Marwata menggugat Pasal 36 huruf (a) UU KPK. Permohonan itu disampaikan Alexander Marwata melalui tim kuasa hukumnya ke MK, pada Senin (4/11).

"Para Pemohon dengan ini mengajukan permohonan pengujian materil terhadap norma Pasal 36 huruf (a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019

Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut Undang-Undang-Undang KPK atau UU KPK)," sebagaimana bunyi permohonan yang disampaikan Alexander Marwata ke MK, dikutip Kamis (7/11/2024).

Pasal 36 huruf a itu berbunyi Pimpinan KPK dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPM dengan alasan apa pun.

Gugatan permohonan itu menggunakan batu uji Pasal Pasal 28 D ayat (1) dan Padal 28 D ayat (2). Adapun, Pasal 28 D ayat (1) berbunyi, Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Sementara, Pasal 28 D ayat (2) berbunyi, Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

Dalam permohonan itu, Alexander Marwata menyatakan terdapat kerugian lantaran tidak memberikan kepastian hukum dalam norma Pasal 36 huruf a, telah menyebabkan

peristiwa bertemunya pemohon dengan seseorang yang secara sengaja menyampaikan laporan dugaan tindak pidana korupsi dan diterima secara resmi di kantor dengan disertai staf yang membidanginya pertemuan dilakukan sebagai pemenuhan tugas dan kewenangan pemohon.

"Pimpinan KPK bertindak dalam tugas jabatannya. Pertemuan tersebut selanjutnya oleh Kepolisian Daerah Metro Jaya dilakukan proses penyelidikan dengan dugaan tindak pidana sebagaimana Pasal 36 huruf a ini (Bukti P-22). Hal ini menunjukkan secara nyata akibat ketidakjelasan Batasan atau kategori larangan hubungan dengan alasan apapun pada pasal a quo telah menyebabkan Pemohon 1 harus menjadi terlapor atas dugaan tindak pidana," bunyi permohonan uji materi.

Karena itu, Alex menyatakan dalam permohonannya Pasal 36 huruf tersebut tidak memberikan kepastian hukum. Padahal, niat pertemuan itu hanya sebatas menerima laporan dugaan korupsi.

"Dengan demikian sangat jelas para Pemohon yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua KPK maupun pegawai KPK lainnya terugikan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum dalam mengemban tugas dan tanggung jawabnya sesuai Perintah Undang-Undang sebagai Pimpinan KPK yang bebas dari rasa cemas dan was-was jika suatu saat karena kepatuhan dan ketaatan menjalankan tugas tanggungjawab yang berinteraksi maupun berhubungan dengan masyarakat dapat saja dipidana," urai permohonan uji materi Alexander Marwata.