Komnas HAM Terima Aduan Dugaan Pelanggaran HAM dalam PHK TPP Desa
NewsHot
Redaktur: Heru Sulistyono

Mantan TPP Kemendes PDTT yang membuat aduan ke Komnas HAM. Foto M Julnis Firmansyah

Jakarta, tvrijakartanews - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menerima laporan dugaan pelanggaran HAM terkait pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak terhadap Tenaga Pendamping Profesional (TPP) Desa oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT). Laporan tersebut disampaikan oleh perwakilan TPP yang tergabung dalam Perhimpunan Pendamping Desa Seluruh Indonesia di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Kamis (6/3/2025).

Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, menyatakan bahwa pihaknya akan menindaklanjuti aduan ini dengan melakukan analisis lebih lanjut. Menurutnya, PHK sepihak ini diduga terjadi karena adanya klausul baru dalam kontrak kerja yang mengharuskan pendamping desa mundur jika sebelumnya mencalonkan diri sebagai anggota legislatif (caleg).

"Tadi kami baru saja menerima pengaduan dari teman-teman pendamping desa yang diadukan ke kami. Ada dugaan mereka mengalami PHK sepihak oleh Kementerian Desa yang selama ini sudah dikontrak bertahun-tahun sejak UU Desa ada. Kontrak mereka selama ini diperpanjang setiap tahun, tetapi tiba-tiba pada tahun 2025 berdasarkan klausul baru, bagi yang pernah mencalonkan diri sebagai anggota legislatif harus mundur. Klausul ini tidak tersedia sebelumnya, tetapi dimasukkan dalam regulasi," ujar Anis.

Komnas HAM akan mendalami laporan ini untuk menentukan apakah terjadi pelanggaran HAM dalam kebijakan PHK tersebut. "Secara mekanisme, tentu Komnas HAM membutuhkan waktu untuk menindaklanjuti laporan yang disampaikan teman-teman pendamping desa. Tetapi pada prinsipnya, terkait dengan potensi pelanggaran HAM karena PHK sepihak oleh Kementerian Desa terhadap ribuan pendamping desa," tambahnya.

Pendamping Desa: Kami Tidak Melanggar Hukum

Hendriyatna, perwakilan dari Perhimpunan Pendamping Desa Seluruh Indonesia, menegaskan bahwa mereka tidak melanggar hukum saat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Ia mempertanyakan dasar hukum yang digunakan Kemendes dalam membuat klausul baru yang berujung pada PHK.

"Kami sudah melaporkan ini ke Komnas HAM karena kami adalah warga negara Indonesia yang baik dan tidak pernah melanggar hukum. Secara hak asasi, kami berhak mendapatkan penghidupan yang layak, berhak mendapatkan pekerjaan. Kenapa hanya karena kami nyaleg, kami harus diberhentikan?" ujarnya.

Menurut Hendriyatna, pencalonan dirinya dan rekan-rekannya sebagai caleg sudah mendapatkan izin resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Kementerian, dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). "Bawaslu pun tidak pernah mempersoalkan kami. Tidak pernah ada aduan bahwa caleg yang berasal dari pendamping desa melakukan perbuatan melawan hukum atau melanggar UU Pemilu," tegasnya.

Ia juga menyebut bahwa pihaknya telah melakukan pengecekan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan tidak menemukan kasus pendamping desa yang terbukti melakukan pelanggaran pemilu. "Ternyata tidak ada. Yang terjadi ini malah dipermasalahkan oleh pihak Kemendes. Secara sepihak mereka membuat klausul dalam kontrak kerja yang menyatakan bahwa jika kami terbukti pernah nyaleg, maka akan di-PHK. Padahal PHK harus melalui mekanisme tertentu, tidak bisa dilakukan sepihak. Ini jelas pelanggaran HAM," katanya.

Hendriyatna juga menyesalkan perlakuan Kemendes terhadap para pendamping desa. "Kami ini manusia, bukan binatang. Kami ini manusia, bukan barang. Tapi tiba-tiba kami dianggap seolah-olah bukan manusia. Ini adalah hak asasi kami untuk bekerja, hak kami mendapatkan penghasilan yang layak," ungkapnya dengan tegas.

Tuduhan Adu Domba Antar Pendamping Desa

Fety Anggreini Dewi, Tenaga Ahli Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat, mengungkapkan bahwa ada dugaan upaya adu domba antara pendamping desa yang terkena PHK dan mereka yang masih bekerja. Menurutnya, ada instruksi dari Kemendes kepada tenaga ahli pemberdayaan pusat untuk menyerang para pendamping desa yang melaporkan kasus ini.

"Kemarin ke Ombudsman, bahkan sekarang ada perintah dari Kementerian Desa melalui tenaga ahli pemberdayaan pusat untuk mengancam TPP, untuk melawan kami. Itu terbukti dengan dirilisnya analisis hukum kebijakan oleh Profesor Juanda terkait pendamping desa yang diduga melanggar UU Pemilu. Analisis itu kemudian diminta untuk diviralkan oleh seluruh tenaga pendamping profesional se-Indonesia," ujar Fety.

Ia menjelaskan bahwa ada arahan agar seluruh TPP menyukai dan membagikan analisis tersebut. "Kami sebagai Koordinator Provinsi (Koprof) dan Koordinator Kabupaten (Korkap) bertanggung jawab memastikan ini diviralkan oleh pendamping desa se-Indonesia. Jika ada yang tidak melaporkan nama mereka, maka nama dan nomor kontraknya akan ditandai," jelasnya.

Fety menilai tindakan ini sebagai upaya adu domba antara sesama pendamping desa. "Hari ini TPP non-caleg melawan kami melalui viral yang diperintahkan oleh Kementerian Desa. Ini jelas bentuk adu domba," tegasnya.

Ribuan Pendamping Desa Terancam Diberhentikan

Hendriyatna menyebut bahwa jumlah TPP yang terancam diberhentikan secara sepihak mencapai lebih dari seribu orang. "Total ada 1.040 pendamping desa yang diberhentikan di seluruh Indonesia. Mereka berasal dari berbagai partai, bukan hanya satu partai saja," katanya.

Dari jumlah tersebut, ada beberapa yang terpilih menjadi anggota legislatif, tetapi mayoritas tidak berhasil lolos. "Karena kita tahu semua bahwa untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif itu perlu modal yang besar. Sedangkan kami, pendamping desa, penghasilannya hanya cukup untuk kebutuhan hidup keluarga," jelasnya.

Ia juga menambahkan bahwa TPP dipaksa menandatangani dokumen yang menyatakan bahwa mereka tidak pernah mencalonkan diri sebagai caleg. Jika di kemudian hari terbukti pernah mencalonkan diri, maka mereka akan langsung diberhentikan.

"Kami tidak dipaksa, tetapi terpaksa karena surat itu diturunkan. Kalau kami tidak tanda tangan, pasti tidak akan dikontrak lagi. Kalau tanda tangan, kami akan berhadapan dengan hukum. Ini pilihannya," ujar Fety.

Komnas HAM berjanji akan menindaklanjuti laporan ini dan memastikan apakah kebijakan PHK tersebut melanggar hak asasi manusia. "Kami akan melakukan analisis mendalam untuk memastikan apakah ada dugaan pelanggaran HAM dalam kasus ini," pungkas Anis Hidayah.