
Foto: Huangdan2060 melalui Wikipedia CC BY 3.0 Hewan ini terkadang dijuluki “lumba-lumba tersenyum”
Jakarta, tvrijakartanews - Hilangnya habitat, polusi, perburuan liar, hingga perubahan iklim menambah ancaman terhadap spesies bumi. Dalam kondisi ini, populasi kecil lumba-lumba air tawar tak bersirip (Neophocaena asiaeorientalis asiaeorientalis) yang dapat ditemui di Sungai Yangtze pun kini terancam punah. Sesuai dengan nama habitatnya, lumba-lumba ini dikenal dengan sebutan lumba-lumba Yangtze.
Menurut World Wildlife Fund (WWF), spesies lumba-lumba ini hidup di Sungai Yangtze Tiongkok dan memiliki populasi hanya 1.012 individu. Merupakan subspesies dari lumba-lumba tak bersirip sempit (Neophocaena asiaeorientalis ) yang hidup di sekitar Jepang dan pesisir Cina, ada juga lumba-lumba tak bersirip Asia Timur atau Sunameri (Neophocaena asiaeorientalis sunameri). Mamalia laut yang paling terancam punah di dunia adalah vaquita yang ditemukan di Meksiko, spesies ini diperkirakan populasinya hanya tersisa sekitar 10 ekor seperti dilansir dari IFL Science edisi (10/03/2024).
Judy A. Takats, pimpinan pengelolaan wilayah sungai di WWF mengatakan kabarnya ini tidak bagus.
“Lumba-lumba tak bersirip Yangtze pernah menjadi pemandangan umum, namun populasinya telah menurun rata-rata 13,7 persen per tahun dalam beberapa tahun terakhir. Jika ancaman ini tidak dihilangkan atau diminimalkan, diperkirakan lumba-lumba tersebut akan punah secara fungsional pada tahun 2025,” kata Judy.
Sebelumnya, lumba-lumba Yangtze berbagi habitat dengan spesies yang juga dikenal sebagai Baiji, namun dinyatakan punah pada tahun 2006. Pesut juga ditemukan di dua danau yang terhubung ke Sungai Yangtze, yaitu Dongting dan Poyang. Spesies ini tidak memiliki sirip punggung yang merupakan ciri khas lumba-lumba dan paus. Menurut Whale and Dolphin Conservation, tubuhnya yang ramping berukuran sekitar 2 meter (6,5 kaki) dan beratnya sekitar 100 kilogram (220 pon).
Salah satu ancaman utama terhadap spesies ini berasal dari penangkapan ikan. Penangkapan ikan yang berlebihan mengurangi jumlah spesies mangsa yang tersedia bagi lumba-lumba, dan mereka juga sering tersangkut peralatan memancing atau bahkan tertabrak perahu. Ancaman lain terhadap spesies ini adalah rusaknya habitat akibat industri pasir. Natural History Museum London menulis bahwa pasir dianggap sebagai sumber daya alam yang paling banyak diekstraksi di dunia setelah air, sehingga berdampak besar pada rumah alami lumba-lumba.
Sebuah studi pada tahun 2023, para peneliti mengamati dampak ekologis penambangan pasir terhadap lumba-lumba dan menemukan bahwa praktik penambangan tersebut melarang pergerakan lumba-lumba dan juga mengurangi habitat penting tepi pantai yang digunakan lumba-lumba untuk mencari makan dan juga sebagai tempat pembibitan.
Kabar baiknya, penambangan pasir ilegal diawasi secara ketat pada tahun 2017 sehingga menyebabkan penangguhan. Richard Sabin, Kurator Utama Mamalia di Museum tersebut mengungkapkan kepada Natural History Museum mengungkapkan, penghentian penambangan pasir pada tahun 2017 merupakan langkah yang sangat positif, dan dapat memberikan kesempatan bagi ekosistem penting ini untuk pulih.
“Hal ini menunjukkan bahwa alam dapat diberi ruang untuk berkembang bahkan di salah satu negara dengan perkembangan industri paling pesat di dunia, dan semoga lumba-lumba tak bersirip Yangtze akan mulai pulih,” ungkap Richard.
Berdasarkan laporan pada tahun 2020, lumba-lumba tanpa sirip Yangtze pertama yang lahir di penangkaran dilepasliarkan kembali ke alam liar. Tim dari Akademi Sains Tiongkok berharap dia bisa terus kawin setelah dia kembali ke rumah liarnya.