Pakar Hukum Tata Negara, Zainal Arifin Mochtar. Foto : Istimewa
Jakarta, tvrijakartanews - Pakar Hukum Tata Negara, Zainal Arifin Mochtar menilai, bahwa hasil keputusan sengketa pemilihan presiden (presiden) 2024 terkait perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) tergantung dari kualitas, paradigma, serta afiliasi politik para hakim yang bertugas dalam menangani permasalahan tersebut.
Menurutnya, sangat mustahil majelis hakim mengabulkan gugatan dengan cara misalnya mendiskualifikasi calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 02, Gibran Rakabuming Raka dan hanya meloloskan calon presiden (capres) Prabowo Subianto.
Kemudian juga misalnya dengan memerintah Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melakukan pemungutan suara ulang (PSU) yang hanya diikuti dua pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01, Anies-Muhaimin dan nomor urut 03, Ganjar-Mahfud.
"Mustahil bila MK mendiskualifikasi calon wakil presiden (Cawapres) Gibran dan hanya memenangkan calon presiden (Capres) Prabowo dan memutuskan pemungutan suara ulang (PSU) dengan hanya dua paslon yakni paslon nomor 01 Anies-Muhaimin (Amin) dan paslon nomor 03 Ganjar-Mahfud," kata Zainal yang dikutip dari YouTube Zainal Arifin Mochtar, Senin (22/4/2024).
Zainal pun kurang yakin, hakim akan membatalkan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang persyaratan usia minimal bagi calon presiden dan/atau wakil presiden.
"Tidak semua progresif, kalau progresif, MK akan batalkan putusan MK Nomor 90/2023 pada pengujian undang-undang (PUU). Pada PUU saja putusan Nomor 90/2023 tidak dibatalkan. Apakah mungkin MK membatalkan putusan 90 melalui perselisihan hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden (PHPU)? Bebannya jauh lebih besar, dan lompatannya sangat besar untuk itu," kata Zainal.
Seperti diketahui sebelumnya, isi dalam petitum paslon presiden dan wakil presiden nomor urut 01, Anies-Muhaimin dan nomor urut 03, Ganjar-Mahfud mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mendiskualifikasi cawapres nomor urut 02, Gibran Rakabuming Raka dalam pemilu 2024.