Ketua IJTI Pusat Herik Kurniawan (Kiri) Saat Menghadiri Musda ke IV IJTI Pengda Banten di Aula Kecamatan Pondok Aren Tangsel.
Tangsel, tvrijakartanews - Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menolak keras rencana Rancangan Undang Undang (RUU) penyiaran nomor 32 tahun 2002 untuk disahkan.
Penolakan itu didasari karena dapat menghambat Pers di Indonesia dalam menyajikan berita ke kalangan masyarakat.
Demikian pernyataan itu dilontarkan oleh ketua IJTI Pusat Herik Kurniawan saat ditemui usai menghadiri musyawarah daerah ke IV IJTI Pengurus Daerah Banten.
Herik mengatakan, pasal-pasal dalam draf RUU Penyiaran berpotensi memberangus kemerdekaan Pers, sehingga apabila RUU Penyiaran kemudian disahkan, para jurnalis tidak akan lagi bisa bergerak leluasa dan membuat karya jurnalistik yang berkualitas.
“Pekerjaan jurnalis terancam oleh regulasi dari pasal pasal tersebut,” katanya, Minggu (26/5/2024).
Dia mencontohkan, salah satu pasal yang menyebutkan larangan dalam penayangan eksklusif dan jurnalis dilarang melakukan investigasi. Menurutnya, selain membungkam jurnalis juga merugikan publik yang memiliki hak menerima informasi secara luas, detil dan transparan.
“Yang rugi publik juga, 274 juta penduduk Indonesia tidak lagi bisa menerima informasi yang mendalam, dari hasil kerja dan karya jurnalistik,” sebutnya.
Padahal, kata Herik, para jurnalis diberikan amanah untuk menembus narasumber dimanapun berada, tujuannya agar bisa memenuhi informasi yang dibutuhkan oleh para jurnalis dalam menyajikan informasi berita secara objektif.
Apalagi, menurutnya, masyarakat memiliki hak dalam negara demokrasi adalah pemilik negeri ini, dan tidak boleh hak secara mendasar untuk berbicara diberangus.
“Maka demokrasi lah yang dijaga, kalau publik tidak bisa lagi menyampaikan, tidak bisa lagi berteriak, jurnalis yang berperan menyampaikan informasi yang mendalam untuk diterima ke kalangan publik,” tandasnya.
Jika RUU Penyiaran ini betul-betul disahkan, Herik berujar, itu adalah kemunduran yang luar biasa untuk demokrasi di Indonesia, reformasi yang selama ini diperjuangkan menjadi mundur kembali.
“Jangan sampai pasal pasal dalam draf ini disahkan dalam RUU, karena dapat membuat perbuatan lebih panjang lagi, untuk itu kita tolak,” demikian kata Herik.