
Ilustrasi angkutan umum. (Istimewa)
Jakarta, tvrijakartanews - Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata Djoko Setijowarno, mengatakan membenahi angkutan umum jangan mengandalkan dari di Kementerian Perhubungan. Namun perlu keikusertaan Bappenas dan Kementerian Dalam Negeri juga diperlukan.
"Selain itu, tidak kalah pentingnya alokasi anggaran dari Kementerian Keuangan untuk keberlangsungannya dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK)," kata Djoko di Jakarta, Minggu (14/7/2024).
Djoko menambahkan tidak mudah untuk membenahi angkutan umum di Indonesia yang sudah lama dibiarkan tidak berkembang. Sebagai contohnya, di Kota Semarang beroperasi Bus Trans Semarang tahun 2009, setelah dirintis sejak 2005 (butuh waktu 5 tahun).
"Bus Trans Jateng beroperasi tahun 2017 (butuh waktu 8 tahun), sejak 2009 dilakukan kajian, perencanaan, sosialisasi hingga pengalokasian anggaran," jelasnya.
Pendekatan kepada operator eksisting memerlukan waktu diskusi cukup lama. Menurut Djoko, Sementara Program Pembelian Layanan (buy the service/BTS) dirintis sejak akhir tahun 2017, baru efektif beroperasi Juni 2020. Semua itu membutuhkan proses dan melibatkan semua pihak yang berkepentingan.
"Itupun Program BTS hingga sekarang masih harus dilakukan proses penyempurnaan agar mendapatkan model yang tepat dalam mengelola angkutan umum bersubsidi di Indonesia," ungkapnya.
Untuk mewujudkan angkutan umum yang humanis, kata Djoko, masalah sosial lebih mengemuka ketimbang persoalan teknis. Melibatkan operator eksisiting lebih tepat kendati memerlukan waktu untuk meyakinkan.
"Selain ketersediaan anggaran, juga tidak kalah pentingnya ada kemauan politik (political will) kepala daerah. Proses menggeser lebih tepat ketimbang menggusur operator yang ada," tuturnya.
Geser Praktek Pengemudi Setoran Jadi Gaji Bulanan
Djoko menambahkan menggeser praktek pengemudi dari setoran menjadi mendapat gaji bulanan. Dari manajemen perorangan menjadi angkutan umum berbadan hukum sesuai Amanah pasal 139 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menyebutkan penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Memilih bentuk koperasi dianggap lebih tepat, sehingga sekumpulan kendaraan milik pribadi dapat diakomodir," sambungnya.
Menurutnya, kayanan angkutan umum tidak bisa berdiri sendiri. Layanan yang ada harus didukung dengan edukasi, teladan, dan insentif-insentif untuk meningkatkan ridership. Kurang tepat kita hanya fokus pada satu sisi saja.
"Ada tiga faktor untuk edukasi angkutan umum, yaitu dukungan komunitas, komunikasi media dan endorsements pemerintah. Jangan serahkan sepenuhnya masalah edukasi kepada pemerintah karena pasti tidak jalan. Peran serta masyarakat sadar jauh lebih penting," ujarnya.
Sangat rendahnya pelayanan angkutan umum perkotaan di tengah ketergantungan masyarakat untuk menggunakan kendaraan pribadi berpotensi mengurangi jumlah angkutan umum yang beroperasi. Banyak kota menanti kematian angkutan perkotaan secara bergiliran.
"Dimulai dari kota-kota kecil seperti Kota Kediri, Kota Tanjung Pandan sudah tidak memiliki layanan angkutan umum. Andai masih ada layanan angkutan umum, hanya dilayani armada angkutan yang tersisa. Usia armada rata-rata sudah di atas 10 tahun, bahkan ada yang di atas 15 tahun," imbuhnya.