Perkap Polri 10/2025 Dinilai Memperkuat Kepastian Hukum, Praktisi: Ini Instrumen Penertiban, Bukan Perluasan Kewenangan
NewsHot
Redaktur: Heru Sulistyono

Penerbitan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) Nomor 10 Tahun 2025 mengenai Penugasan Anggota Polri di Luar Struktur Organisasi Kepolisian menuai perhatian publik dan berbagai interpretasi. Menyikapi polemik tersebut, praktisi hukum Sedek Bahta, Managing Partner Bahta Afif Ali and Partners, memberikan pandangan bahwa Perkap tersebut merupakan langkah administratif yang esensial untuk membenahi tata kelola internal Polri. Foto Istimewa

Jakarta, tvrijakartanews - Penerbitan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) Nomor 10 Tahun 2025 mengenai Penugasan Anggota Polri di Luar Struktur Organisasi Kepolisian menuai perhatian publik dan berbagai interpretasi. Menyikapi polemik tersebut, praktisi hukum Sedek Bahta, Managing Partner Bahta Afif Ali and Partners, memberikan pandangan bahwa Perkap tersebut merupakan langkah administratif yang esensial untuk membenahi tata kelola internal Polri.

Menurut Bahta, daripada dimaknai sebagai perluasan kekuasaan, Perkap 10/2025 harus dilihat sebagai instrumen penertiban yang bertujuan menutup celah ketidakpastian hukum yang selama ini timbul akibat ketiadaan aturan teknis.

"Perkap ini hadir untuk menutup ruang abu-abu tersebut," ujar Bahta, Selasa (16/12/2025).

"Dalam perspektif hukum administrasi negara, ketiadaan aturan teknis justru berpotensi melahirkan ketidakpastian hukum, mulai dari status penugasan, kewenangan, hingga potensi konflik kepentingan."

Bahta menjelaskan bahwa Perkap adalah peraturan internal atau delegated regulation yang sah, selama dibentuk berdasarkan kewenangan Kapolri dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (seperti Undang-Undang). Fungsi utamanya adalah mengatur aspek teknis, prosedur, dan batasan penugasan anggota Polri di luar struktur organisasi.

Dengan adanya mekanisme yang jelas, penugasan anggota Polri di luar struktur organisasi tidak lagi dilakukan secara bebas atau tanpa kontrol, melainkan melalui prosedur yang terukur dan dapat diawasi. Hal ini, menurut Bahta, sejalan dengan semangat putusan Mahkamah Konstitusi yang selalu menekankan pentingnya profesionalisme dan netralitas aparat penegak hukum.

"Perkap bukan menciptakan norma baru setingkat undang-undang, melainkan berfungsi mengatur mekanisme, prosedur, dan batasan penugasan anggota yang selama ini kerap menimbulkan persoalan administrasi dan akuntabilitas," tegasnya.

Menanggapi kritik yang menyebut Perkap 10/2025 bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi, Bahta menilai perbedaan pandangan dalam negara hukum adalah hal yang wajar. Namun, ia menekankan bahwa kritik harus didasarkan pada analisis yuridis yang objektif.

"Penilaian harus didasarkan pada analisis yuridis yang objektif, yakni dengan membuktikan adanya konflik norma secara nyata, bukan semata perbedaan tafsir kebijakan," jelasnya.

Lebih lanjut, Bahta meminta publik untuk mengalihkan fokus dari hanya sekadar legitimasi penerbitan Perkap ke aspek implementasinya. Ia menyoroti pentingnya pengawasan agar regulasi ini tidak disalahgunakan.

Tiga aspek krusial yang harus dikawal dalam implementasi Perkap, menurut Bahta, antara lain:

1. Transparansi dalam penugasan.

2. Pembatasan kewenangan dan waktu penugasan.

3. Mekanisme pengawasan dan evaluasi yang ketat.

Bahta menutup dengan pandangan bahwa dalam konteks reformasi birokrasi, Perkap Polri 10/2025 patut dipandang sebagai bagian dari upaya membangun tata kelola Polri yang lebih tertib, profesional, dan akuntabel.

"Regulasi ini bukan ancaman bagi demokrasi, melainkan instrumen administratif yang harus dikawal agar tetap selaras dengan prinsip supremasi hukum dan kepentingan publik," pungkas Bahta.