
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. (Tangkap layar YouTube TV Parlemen)
Jakarta, tvrijakartanews - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan likuiditas perekonomian Indonesia pada 2024 sempat ketat. Hal ini disebabkan ekomi mengalami perlambatan.
Kemudian pada periode Covid-19, sekitar 2021-2022, likuiditas perekonomian yang tercermin dari peredaran uang primer atau base money (M0),
"Sebetulnya sempat melimpah setelah pemerintah membelanjakan uangnya yang selama ini tersimpan di BI hingga Rp 300 triliun, dengan memasukkannya langsung ke sistem perbankan," kata Purbaya saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Jakarta, Rabu (10/9/2025).
Purbaya menambahkan relaksasi likuiditas perekonomian pada periode itu lah yang ia sebut mampu menyelamatkan ekonomi Indonesia dengan cepat, setelah tertekan saat periode Covid-19 hingga mengalami kontraksi, lalu kembali tumbuh ke jalur kisaran 5 persen.
"Mei 2021 dipindahkan uang sebesar Rp 300 triliun dari BI ke sistem perbankan, laju pertumbuhan uang naik lagi dari minus ke double digit, 11 persen terus dijaga bank sentral juga di atas 20 persen, itu yang selamatkan ekonomi kita," ujarnya.
Menurutnya, pada 2023, sebelum ekonomi mampu pulih bahkan ekspansi lebih cepat, Bank Indonesia dan pemerintah justru buru-buru kembali mengetatkan likuiditas perekonomian.
"Nah, rupanya sejak 2023 bulan pertengahan itu uang diserap secara bertahap terus ke bawah sampai tumbuhnya 0 persen jelang second half 2024. Jadi itu yang anda rasakan di ekonomi melambat dengan signifikan riil sektor susah, semua susah, keluar tag line-tag line Indonesia gelap, Indonesia apa," ungkapnya.
Namun, kesalahan kebijakan itu malah direspons dengan menyalahkan tekanan ekonomi global saat itu. Purbaya menekankan, padahal roda perekonomian Indonesia mayoritas digerakkan oleh konsumsi domestik.
"Kita semua tunjuk ini gara-gara global, padahal ada kebijakan dalam negeri yang salah juga, yang utamanya mengganggu kita karena 90 persen perekonomian kita di drive domestik demand," tambahnya.
Pada awal-awal 2025, Purbaya mengaku sempat optimistis kebijakan yang digunakan otoritas fiskal dan moneter tak lagi mengulang kesalahan yang sama saat itu, maupun saat masa krisis 1998 dengan mempertahankan uang primer di kisaran 7 persen pertumbuhannya.
"Januari, Februari, Maret, April membaik semua, tiba-tiba saya pikir udah insaf nih, pertumbuhan uang sempat capai 7 persen di bulan April, makanya ketika sarasehan di bulan April saya bilang kita sudah keluar dari krisis Indonesia akan cerah," ungkap Purbaya.
Namun, Purbaya menuturkan nyatanya likuiditas perekonomian masih dibuat ketat oleh pemerintah dan BI saat itu dengan suku bunga tinggi, kebijakan penarikan pajak yang ekspansif, tanpa disertai dengan kebijakan belanja yang tepat waktu.
"Yang saya enggak tahu Mei jatuh lagi, Juni, Juli, Agustus jatuh ke 0 persen jadi periode perlambatan ekonomi yang sempat 2024 gara-gara uang ketat tadi dipulihkan sedikit, tapi belum pulih penuh di rem lagi ekonominya, itu dari sisi fiskal dan moneter," bebernya.
Disamping itu, Purbaya mengaku pemerintah karena terlambat membelanjakan anggaran, membelanjakan APBN nya, uangnya kan tetap di bank sentral, rajin narik pajak.
"enggak apa masuk ke bank sentral kalau dibelanjakan lagi, enggak apa, tapi kan enggak, kita santai-santai kering sistemnya, bank sentral kita juga sama," pungkasnya.