Hari Literasi Internasional 2025: Tantangan Literasi di Era Digital
FeatureNewsHot
Redaktur: Heru Sulistyono

Ilustrasi anak-anak membaca buku, Hari Literasi Internasional / foto: Sanrifa Akmalia

Jakarta, tvrijakartanews - Setiap tanggal 8 September, dunia memperingati Hari Literasi Internasional atau International Literacy Day. Tahun ini, UNESCO mengangkat tema “Mempromosikan Literasi pada Era Digital” sebagai respons terhadap pesatnya transformasi digital yang kini hadir di hampir semua aspek kehidupan.

UNESCO menilai digitalisasi membawa dua sisi yang saling berlawanan. Di satu sisi, perangkat digital mampu memperluas akses belajar, terutama bagi kelompok marginal yang selama ini sulit menjangkau pendidikan. Namun di sisi lain, pergeseran ke dunia digital juga berisiko menciptakan marginalisasi ganda, di mana mereka yang tertinggal dalam literasi dasar bisa semakin jauh dari manfaat teknologi.

Organisasi internasional itu menyoroti berbagai tantangan baru yang muncul seiring digitalisasi. Mulai dari isu privasi, pengawasan digital, bias algoritma, konsumsi informasi pasif, hingga dampak lingkungan. Karena itu, literasi dianggap kunci agar masyarakat mampu mengakses, memahami, mengevaluasi, hingga berinteraksi dengan konten digital secara aman dan bijak.

Lebih dari sekadar membaca dan menulis, literasi di era digital mencakup kemampuan berpikir kritis dan menavigasi informasi yang semakin kompleks. Hal ini sangat penting, mengingat UNESCO mencatat ada sekitar 739 juta remaja dan orang dewasa di dunia yang masih belum memiliki keterampilan literasi dasar.

Data UNESCO juga menunjukkan tantangan literasi masih besar. Pada 2024, diperkirakan 4 dari 10 anak belum mencapai kemampuan membaca minimum, sementara pada 2023 terdapat 272 juta anak dan remaja yang putus sekolah di seluruh dunia. Kondisi ini menunjukkan perlunya kerja sama global untuk menutup kesenjangan akses pendidikan.

Sejarah Hari Literasi Internasional

Hari Literasi Internasional sendiri pertama kali diproklamasikan UNESCO pada 1966, dan sejak itu diperingati setiap 8 September. Perayaan ini menjadi pengingat bagi pembuat kebijakan, praktisi, hingga masyarakat luas bahwa literasi merupakan hak asasi manusia yang mendasar.

Lebih jauh, literasi dipandang sebagai landasan penting untuk membangun masyarakat yang adil, damai, dan berkelanjutan. Dengan literasi, seseorang memiliki kesempatan lebih luas untuk meraih hak-hak lainnya, memperoleh kebebasan, serta menjadi warga dunia yang aktif.

Budaya literasi juga diyakini dapat menumbuhkan prinsip kesetaraan, non-diskriminasi, solidaritas, hingga toleransi. Melalui literasi, manusia bukan hanya memperkuat hubungan dengan diri sendiri dan orang lain, tetapi juga dengan lingkungan, demi terciptanya dunia yang lebih harmonis.