Foto: reuters
Jakarta, tvrijakartanews - Perusahaan yang mengimpor minyak sawit dari Malaysia akan dapat mengadopsi orangutan, tetapi mereka tidak akan dapat meninggalkan negara tersebut. Pengumuman tersebut disampaikan oleh menteri komoditas dalam versi revisi skema konservasi pada Minggu (18/8/2024).
Pada bulan Mei, menteri mengajukan rencana untuk mengirim orangutan ke luar negeri sebagai hadiah dagang dalam upaya untuk meredakan kekhawatiran mengenai dampak produksi minyak kelapa sawit terhadap habitat hewan, yang cenderung melibatkan pembukaan lahan hutan.
Rencana tersebut menuai keberatan dari kelompok konservasi yang khawatir terhadap kesejahteraan orangutan yang terancam punah.
"Hewan-hewan itu tidak dapat meninggalkan habitat alami mereka. Kita harus menjaga mereka di sini. Dan kemudian kita akan bertemu dengan negara-negara atau pembeli minyak kelapa sawit kita jika mereka ingin bekerja sama untuk memastikan bahwa hutan-hutan ini dapat dirawat dan dilestarikan selamanya," kata Menteri Perkebunan dan Komoditas Malaysia Johari Abdul Ghani dalam sebuah konferensi pers di Sabah, Kalimantan Utara dikutip dari reuters.
Abdul Ghani mengatakan bahwa wilayah Sabah saat ini memiliki sekitar 15.000 orangutan, sementara Sarawak memiliki sekitar 2.000 orangutan. Selain itu, dana yang terhimpun dari perusahaan yang mengadopsi orangutan akan disalurkan ke lembaga swadaya masyarakat, dan Pemerintah Sabah akan memantau kawasan hutan tempat primata tersebut hidup, serta berupaya memantau keselamatan dan kondisinya.
Marc Ancrenaz, direktur ilmiah organisasi non-pemerintah Hutan, mengatakan ia berharap rencana tersebut akan mendanai pekerjaan konservasi habitat, seperti membangun koridor antara hutan terfragmentasi yang terlalu kecil untuk menopang populasi satwa liar yang layak.
Skema "diplomasi orangutan" pertama kali dipublikasikan pada bulan Mei setelah Uni Eropa tahun lalu menyetujui larangan impor komoditas yang terkait dengan deforestasi.
Malaysia, produsen minyak sawit terbesar kedua di dunia yang digunakan dalam berbagai produk mulai dari lipstik hingga pizza, menggambarkan undang-undang tersebut sebagai diskriminatif.