Ilustrasi lahan yang hilang karena abrasi laut. Foto Istimewa
Jakarta, tvrijakartanews – Rencana pemerintah untuk menghapus sertifikat tanah milik warga yang terdampak abrasi laut disebut berpotensi menimbulkan konflik agraria, terutama bagi pemilik tambak dan lahan pesisir yang terkena abrasi secara permanen. Pakar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Nur Hasan Ismail, menilai langkah ini berisiko tinggi jika tidak disertai dengan solusi hukum yang jelas.
Menurutnya, pencabutan hak kepemilikan tanah tanpa memberikan hak prioritas kepada pemilik lahan sebelumnya dapat memicu gugatan hukum.
"Kalau pemiliknya mau menggunakan lagi, ya tidak masalah. Artinya, sertifikatnya tetap hidup. Tapi kalau langsung dibatalkan tanpa ada pemberian hak prioritas, pasti akan muncul konflik," ujar Nur Hasan dalam keterangannya, Senin (3/1/2025).
Ia menekankan bahwa status kepemilikan lahan yang terkena abrasi seharusnya tetap diakui berdasarkan peraturan yang ada. Salah satu aturan yang mengatur hak prioritas bagi pemilik lahan yang terdampak abrasi adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.
“Jika hak prioritas ini tidak diberikan, pemilik lahan bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Jadi, aturan yang ada harus diikuti agar tidak menimbulkan masalah baru,” jelasnya.
Sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, menyatakan bahwa status sertifikat tanah yang terkena abrasi akan ditinjau ulang. Pemerintah akan mempertimbangkan apakah abrasi bersifat permanen atau hanya sementara.
"Kalau bersifat banjir sementara, itu masih bisa dipertahankan. Tapi kalau tanahnya benar-benar hilang akibat abrasi permanen, maka sertifikatnya akan dibatalkan," kata Nusron di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/1/2025).
Ia menjelaskan bahwa pembatalan kepemilikan lahan dilakukan karena secara material tanah tersebut sudah tidak ada lagi. Namun, jika lahan hanya tergenang sementara akibat pasang surut air laut, maka kepemilikannya tetap bisa dipertahankan.
Ancaman abrasi di wilayah pesisir Indonesia, khususnya di Pantai Utara (Pantura) Jawa, terus meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2015, sekitar 400 kilometer garis pantai di Indonesia telah tergerus abrasi.
Di Kabupaten Tangerang, misalnya, luas daratan yang hilang akibat abrasi mencapai 579 hektare dalam rentang 1995-2015. Sebuah studi dari Departemen Geografi Universitas Indonesia (UI) mencatat bahwa seluruh desa di pesisir Kabupaten Tangerang mengalami abrasi signifikan dalam 10 tahun terakhir.
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Abdul Muhari, mengungkapkan bahwa dalam 10 tahun terakhir laju abrasi di beberapa wilayah pantai bisa mencapai 200 hingga 500 meter.
“Daerah-daerah yang mangrove-nya sudah tidak terjaga sangat rentan mengalami abrasi dalam luasan yang signifikan,” ujarnya, Selasa (28/1/2025).
Pemantauan melalui citra satelit menunjukkan bagaimana abrasi secara bertahap menggerus daratan di pesisir Tangerang, termasuk di Pantai Anom, Kecamatan Pakuhaji. Pada 2009, wilayah tersebut masih memiliki hamparan sawah dan daratan luas. Namun, dalam waktu kurang dari dua dekade, kawasan itu berubah menjadi lautan.
Rudianto (35), Ketua RT 06 di Desa Kohod, Kabupaten Tangerang, mengungkapkan bahwa banyak warga kehilangan tanah dan tambaknya akibat abrasi.
“Rumah serta tambak yang dulunya kokoh di tepi pantai kini harus pindah karena ancaman abrasi yang semakin mendekat,” kata Rudianto.
Menurutnya, sejak awal 2000-an, air laut mulai sering menggenangi daratan dan mengancam tambak warga. Sejumlah pemilik tambak akhirnya memilih untuk tidak lagi merawat lahannya karena tahu pada akhirnya akan hilang digerus air laut.
“Dulu, desa ini jadi tumpuan hidup warga yang menggantungkan ekonomi pada laut dan tambak. Tapi sekarang, tanah milik mereka sudah menjadi bagian dari laut,” keluhnya.
Berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian tahun 2024, dampak ekonomi akibat abrasi diperkirakan mencapai Rp2,1 triliun dan bisa meningkat hingga Rp10 triliun dalam 10 tahun ke depan jika tidak ada upaya mitigasi yang efektif.
Pakar Hukum Agraria UGM, Dr. Rikardo Simarmata, menyoroti bahwa anggapan bahwa hak kepemilikan tanah tidak berlaku di wilayah perairan adalah keliru.
Menurutnya, regulasi pertanahan saat ini sebenarnya mengizinkan pemberian hak atas tanah di bawah air, misalnya untuk pembangunan pelabuhan atau fasilitas lainnya. Namun, sektor kelautan belum memiliki aturan yang secara jelas mengatur hal tersebut.
“Regulasi di sektor kelautan belum secara tegas melarang atau mengizinkan kepemilikan lahan di bawah air. Karena itu, kasus pagar laut yang muncul belakangan ini perlu ditelaah lebih jauh, terutama terkait izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL),” katanya, Jumat (24/1/2025).
Ia menambahkan bahwa jika pagar laut dibangun tanpa izin KKPRL, maka statusnya ilegal. Namun, jika telah mendapatkan izin sesuai prosedur, maka keberadaannya sah secara hukum.
Rikardo juga mengingatkan agar polemik ini tidak ditarik ke ranah politik. Sebab, hal tersebut justru bisa semakin memperkeruh keadaan, terutama bagi warga pesisir yang terdampak abrasi dan kehilangan lahannya.
“Jangan sampai kasus ini malah menjadi bahan perdebatan politik. Yang lebih penting adalah memastikan semua regulasi diikuti, baik dari segi pertanahan, tata ruang, maupun perlindungan nelayan,” pungkasnya.