Bela Negara di Era Digital, Letjen TNI (Purn) M. Hasan: Tantangan Baru Generasi Muda
NewsHot
Redaktur: Heru Sulistyono

Mantan Pangkostrad Letjen TNI (Purn) Mohamad Hasan menilai bela negara kini harus hadir tidak hanya di dunia nyata, tetapi juga di ruang digital. Pasalnya, internet sudah menjadi ruang hidup masyarakat Indonesia, mulai dari tempat bekerja, belajar, berbelanja, hingga membentuk opini politik. Foto Istimewa

Jakarta, tvrijakartanews – Mantan Pangkostrad Letjen TNI (Purn) Mohamad Hasan menilai bela negara kini harus hadir tidak hanya di dunia nyata, tetapi juga di ruang digital. Pasalnya, internet sudah menjadi ruang hidup masyarakat Indonesia, mulai dari tempat bekerja, belajar, berbelanja, hingga membentuk opini politik.

“Bela negara di ruang digital bukan berarti memobilisasi warganet untuk perang siber. Esensinya adalah merawat akal sehat publik, memperkuat kohesi sosial, melindungi infrastruktur informasi, dan memastikan ekosistem digital berpihak pada kebenaran serta kepentingan nasional,” ujar Hasan dalam tulisannya, Jumat (19/9/2025).

Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pada 2025 penetrasi internet di Indonesia telah mencapai 80,66 persen atau sekitar 229 juta jiwa. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan pengguna digital terbesar di dunia. Generasi Z dan Milenial menjadi kelompok dominan dengan jumlah pemilih lebih dari 110 juta jiwa.

Keresahan di Dunia Maya

Hasan mengingatkan, luasnya ruang digital membawa sejumlah keresahan. Pertama, kebenaran kerap dikalahkan oleh algoritma. Konten yang memicu emosi lebih mudah viral ketimbang informasi yang akurat namun tidak sensasional. Survei menunjukkan 57 persen warga Indonesia mengakses berita melalui media sosial, bukan media arus utama.

Kedua, budaya validasi yang lahir dari likes, share, dan komentar sering kali menjadikan popularitas lebih penting daripada kebenaran. “Yang benar bisa kalah oleh yang ramai,” kata Hasan.

Ketiga, arus disinformasi kian canggih, termasuk melalui penggunaan teknologi deepfake. Pemerintah pun beberapa kali harus meminta platform besar untuk memperketat moderasi konten karena dampak keresahan yang ditimbulkan.

“Generasi Z berjumlah sekitar 71,5 juta jiwa, sementara Milenial mencapai 66 juta jiwa. Mereka tumbuh sebagai digital natives, tetapi belum semua memiliki literasi informasi yang memadai. Inilah celah masuknya hoaks, radikalisme online, hingga kejahatan siber,” kata Hasan.

Ironi Literasi

Ia menyinggung ironi besar yang dihadapi Indonesia: pengguna ponsel pintar begitu tinggi, namun literasi masih tertinggal dibanding negara tetangga. Data UNESCO 2025 menunjukkan tingkat literasi orang dewasa Indonesia 95,44 persen, masih di bawah Filipina, Brunei, dan Singapura.

“Kondisi ini jelas berbahaya. Arus informasi yang deras tidak dibentengi kemampuan berpikir kritis. Ini menjadi ancaman serius bagi persatuan dan keselamatan bangsa,” ujarnya.

Indonesia juga tercatat sebagai negara dengan tingkat kerentanan siber tertinggi di Asia Tenggara. Dari 22,6 juta perangkat, sekitar 877 ribu dikategorikan berisiko tinggi.

Empat Retakan

Hasan menyebut ada empat “retakan” yang perlu segera ditutup. Pertama, retakan literasi, karena banyak pengguna piawai memakai aplikasi tetapi belum mampu menimbang kredibilitas sumber. Kedua, retakan kepercayaan, sebab publik muda lebih percaya influencer dan algoritma ketimbang jurnalisme.

Ketiga, retakan insentif, di mana platform lebih menghargai keterlibatan ketimbang kebenaran. Keempat, retakan tata kelola, karena regulasi masih tertinggal menghadapi inovasi seperti deepfake.

Kerangka Bela Negara Digital

Untuk menjawab tantangan itu, Hasan mengusulkan kerangka kerja bela negara digital. Ada empat pilar utama: literasi warga, tanggung jawab platform, penegakan hukum, serta gerakan masyarakat.

Warga didorong untuk menerapkan literasi digital, seperti memverifikasi informasi sebelum membagikan, menjaga etika berkomunikasi, hingga memahami cara kerja algoritma. Platform dituntut mendesain sistem yang aman dan transparan, sementara pemerintah diminta mengeluarkan regulasi adaptif, misalnya batas usia pengguna media sosial.

Selain itu, Hasan mendorong lahirnya gerakan masyarakat seperti “Ronda Digital” di kampus, pesantren, dan komunitas lokal. Gerakan ini berfungsi sebagai posko literasi sekaligus pusat klarifikasi hoaks. Ia juga menekankan pentingnya ekosistem talenta muda melalui program fellowship, hackathon, hingga magang lintas sektor untuk melahirkan kader bela negara digital.

Investasi Menuju 2045

Hasan menegaskan, bela negara di ruang digital merupakan investasi paling menentukan menuju Indonesia Emas 2045. Ia tidak identik dengan senjata, melainkan disiplin informasi dan kebiasaan menjaga ruang maya tetap sehat.

“Patriotisme digital bukan pekik, melainkan kebiasaan sehari-hari: mengaktifkan 2FA, menolak judul menghasut, memperbaiki teman yang keliru tanpa mempermalukan, hingga memberi engagement pada konten yang benar walau tak viral,” katanya.

Ia menutup dengan pesan, jika generasi muda mampu menjadi kurator kebenaran dan produsen solidaritas, maka ruang digital akan menjadi benteng sekaligus ruang kreatif bagi tumbuhnya nasionalisme.

“Jika ruang hidup kita sehat, republik kita kuat,” pungkas Hasan.