Studi: Bakteri Dapat Membantu Mengubah CO2 Menjadi Batu Dalam Kondisi Ekstrim
Tekno & SainsNewsHot
Redaktur: TVRI Jakarta Portal Team

Foto: Beberapa bakteri Bacillus dapat mengubah CO2 menjadi batu di lingkungan ekstrim (New Scientist, David Marchal/Getty)

Jakarta, tvrijakartanews - Menurut penelitian, bakteri dapat mempercepat mineralisasi karbon dioksida dalam kondisi ekstrim. Menyuntikkan mikroba tersebut ke bawah tanah bersama dengan CO2 yang ditangkap dapat memungkinkan penyimpanan gas rumah kaca yang lebih tahan lama seperti reservoir minyak dan gas yang sudah habis.

Gokce Ustunisik di South Dakota School of Mines and Technology dan rekan-rekannya mengisolasi spesies bakteri Geobacillus dari tumpukan kompos di negara bagian Washington yang diketahui tahan terhadap suhu dan tekanan tinggi. Dalam uji laboratorium, para peneliti membandingkan laju mineralisasi CO2 ketika dilarutkan dalam air dengan dan tanpa mikroba tersebut. Mereka menguji proses tersebut pada temperatur, tekanan dan salinitas yang berbeda, sebanding dengan kondisi ekstrim yang ditemukan jauh di bawah tanah dimana CO2 mungkin disimpan. Mereka juga menguji prosesnya dengan berbagai jenis batuan basal.

Tanpa mikroba, para peneliti tidak mengamati adanya mineralisasi CO2. Ustunisik mengatakan prosesnya biasanya memakan waktu bertahun-tahun, bahkan dalam kondisi geologi yang ideal. “Ini akan memakan waktu selamanya,” katanya dilansir dari New Scientist edisi (14/02/2024).

Ustunisik mengatakan ketika mikroba masih ada, hanya butuh 10 hari bagi CO2 untuk membentuk kristal mineral pada suhu 80°C (176°F) dan tekanan sekitar 500 kali lipat permukaan laut. Laju yang sangat cepat dalam kondisi ekstrem dapat memungkinkan lebih banyak CO2 disimpan di tempat penyimpanan jauh di bawah tanah, seperti reservoir minyak dan gas yang sudah habis.

Ustunisik menjelaskan bahwa kunci dari laju mineralisasi yang cepat ini adalah enzim yang dibuat oleh bakteri yang disebut karbonat anhydrase. Setelah larutan CO2 melarutkan batuan, enzim tersebut dengan cepat mengurangi keasaman larutan sehingga magnesium dan kalsium yang dilepaskan dari batuan dapat membentuk mineral karbonat.

Sementara itu, Bret Lingwall yang juga dari South Dakota School of Mines and Technology, mengatakan mikroorganisme yang hidup di permukaan biasanya membuat enzim ini, (manusia juga membuatnya) namun biasanya mereka tidak dapat bertahan lama dalam kondisi ekstrem.

“Ini adalah kehidupan yang sulit di kedalaman 5.000 kaki di bawah tanah,” kata Bret Lingwall.

Para peneliti mempresentasikan beberapa rincian pekerjaan mereka pada konferensi tahunan American Geophysical Union di San Francisco pada bulan Desember. Namun, mereka masih menunggu untuk merilis lebih banyak informasi, seperti spesies bakteri yang mereka periksa hingga mereka dapat memperoleh hak paten.

Peneliti juga berencana untuk menguji bakteri Bacillus yang diisolasi dari bekas lubang tambang di South Dakota, serta strain yang dimodifikasi secara genetik, untuk mengidentifikasi mikroba mana yang memiliki kinerja terbaik. Ustunisik mengatakan langkah selanjutnya adalah menguji mikroba di  tempat penyimpanan sebenarnya. Namun para peneliti dari luar mengatakan banyak faktor yang mungkin tidak sesuai dengan hal tersebut.

Greeshma Gadikota dari Cornell University di New York berpendapat bahwa nutrisi perlu disuntikkan bersama mikroba agar mereka tetap hidup. Dia mengatakan mungkin juga sulit untuk mengendalikan bagaimana mikroba yang masuk ke bawah permukaan menyebar, yang bisa menjadi perhatian khusus jika mereka dimodifikasi secara genetik.

“Ada pertanyaan terbuka seputar ketahanan organisme ini, sumber makanan organisme ini, tingkat pergantian organisme, dan kemampuan mereka untuk bekerja di lingkungan basa yang berbeda,” ujar Gadikota.

Berbeda dengan Andrew Mitchell dari Universitas Aberystwyth di Inggris, dirinya mengatakan sulit untuk mengetahui seberapa besar mikroba akan mempercepat mineralisasi CO2 pada skala yang lebih besar, namun mempersingkat proses menjadi 10 hari akan menjadi hal yang “cepat”. Menurutnya, menemukan mikroba yang dapat mempercepat mineralisasi dan bertahan dalam kondisi dalam akan berguna. “Banyak serangga yang tidak menyukai lingkungan bersuhu tinggi dan bertekanan tinggi,” tutur Andrew.