
Foto: reuters
Jakarta, tvrijakartanews - Nzigire Lukangira dengan lembut menempelkan kain basah ke dahi balitanya, mencoba meredakan demam yang telah mencengkeram anaknya selama berhari-hari. Ibu berusia 32 tahun itu duduk di atas kasur tipis di bangsal isolasi sementara, dikelilingi oleh puluhan pasien lain yang menderita mpox.
"Kondisi di sini sangat buruk. Kami tidak punya makanan dan orang-orang dilarang mengunjungi kami karena kami mengidap penyakit berbahaya," kata Lukangira, suaranya dipenuhi keputusasaan.
Mengutip reuters, Lukangira dan anaknya berasal dari Kavumu di bagian timur Republik Demokratik Kongo, episentrum wabah mpox yang bulan lalu dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia sebagai darurat kesehatan masyarakat global.
Di fasilitas tersebut, tempat 900 pasien bergejala telah dirawat selama tiga bulan terakhir, para petugas kesehatan bergulat dengan kekurangan obat-obatan yang parah dan kurangnya ruang untuk menampung masuknya pasien.
Seperti ibu-ibu lain di bangsal Kavumu mpox, Lukangira telah menggunakan pengobatan tradisional untuk meredakan nyeri bayinya. Mereka mencelupkan jari-jari mereka ke dalam kalium bikarbonat atau air jeruk lemon asin untuk memecahkan lepuh pada anak-anak mereka. Pasien dewasa melakukan hal yang sama pada diri mereka sendiri.
Melihat saudara perempuannya berusaha memecahkan ruamnya dengan jarum jahit, pasien mpox Sifa Mwakasisi menyuarakan kekhawatiran Lukangira.
"Sejak saya mengalami ruam kulit ini, saya diberi tahu bahwa perawatan di sini gratis. Namun, ketika saya tiba, saya menyadari tidak ada obat. Seseorang bisa meninggal di sini karena tidak mendapatkan perawatan," katanya.
Minggu lalu, 135 pasien - baik anak-anak maupun orang dewasa - dijejalkan di antara tiga tenda plastik besar yang didirikan di tanah lembab tanpa penutup lantai. Kerabat, yang biasanya menyediakan makanan di fasilitas umum yang kekurangan dana seperti rumah sakit Kavumu, dilarang mengunjungi bangsal mpox untuk mencegah kontaminasi.
"Kami menghadapi banyak tantangan. Tantangan pertama adalah pasokan obat-obatan, karena kami kehabisan obat setiap hari," kata dokter kepala Musole Mulamba Muva, seraya menjelaskan bahwa stok yang disediakan oleh mitra sering kali habis tanpa diisi ulang.
Mpox menyebabkan gejala mirip flu dan lesi berisi nanah, dan meskipun biasanya ringan, bisa berakibat fatal. Anak-anak, wanita hamil, dan orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah memiliki risiko komplikasi yang lebih tinggi.
Dr. Muva memohon bantuan apa pun yang bisa ia dapatkan. "Kami menghadapi banyak tantangan yang sulit kami atasi dengan sumber daya lokal kami," katanya.
Vaksin akan tiba dalam beberapa hari untuk melawan jenis virus baru yang menjadi penyebab wabah tersebut, sementara Presiden Kongo Felix Tshisekedi telah mengizinkan pencairan dana pertama sebesar $10 juta untuk memerangi wabah tersebut.
Kepala tim tanggap mpox Kongo, Cris Kacita, telah mengakui bahwa sebagian wilayah negara Afrika tengah yang luas itu kekurangan obat-obatan dan bahwa pengiriman sumbangan, termasuk 115 ton obat-obatan dari Bank Dunia, merupakan prioritas.
Menurut Kementerian Kesehatan, terdapat 19.710 kasus dugaan mpox yang dilaporkan sejak awal tahun di Kongo hingga 31 Agustus. Dari jumlah tersebut, 5.041 kasus terkonfirmasi dan 655 kasus berakibat fatal.

