Mahkamah Agung: Perubahan UU Diperlukan untuk Hapus Pertimbangan Meringankan dalam Persidangan
NewsHot
Redaktur: Heru Sulistyono

Mahkamah Agung: Perubahan UU Diperlukan untuk Hapus Pertimbangan Meringankan dalam Persidangan. Foto : Achmad Basofi

Jakarta, tvrijakartanews - Mahkamah Agung (MA) menegaskan bahwa penghapusan pertimbangan meringankan dalam persidangan, seperti sikap sopan terdakwa, membutuhkan perubahan dalam undang-undang.

Hal ini menanggapi kontroversi terkait pertimbangan meringankan yang diberikan kepada terdakwa Harvey Moeis.

"Kalau mau dihapus, ya undang-undangnya seperti itu. Lagi-lagi kalau mau dihapus ya diubah dulu ya," kata Juru Bicara MA, Yanto kepada wartawan di Media Center MA yang dikutip, Jumat (3/1/2025).

Yanto menjelaskan, aturan mengenai pertimbangan memberatkan dan meringankan tercantum dalam Pasal 197 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Pasal tersebut mengharuskan hakim mencantumkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan dalam setiap putusan pidana.

"Itu jadi wajib dicantumkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Nah, pertimbangan secara hal yang memberatkan dan meringankan itu kan secara umum," jelas Yanto.

Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP menyatakan bahwa keputusan hukum harus mencantumkan "aturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa".

Yanto juga menyoroti bahwa selain pertimbangan umum, terkadang ada faktor-faktor khusus yang digunakan untuk meringankan hukuman terdakwa.

"Misalnya kecelakaan, kemudian ternyata korban cacat kakinya, terus pelaku ternyata sanggup menyekolahkan sampai kuliah, itu kan ada pertimbangan khusus nanti di luar pertimbangan umum," jelasnya.

Pernyataan ini muncul di tengah diskusi publik tentang relevansi beberapa faktor meringankan dalam putusan pidana.

Dengan adanya wacana ini, perubahan undang-undang menjadi langkah yang diperlukan untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat terkait reformasi peradilan.

Untuk diketahui sebelumnya, Harvey Moeis resmi dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara atas keterlibatannya dalam kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah yang merugikan negara hingga Rp300 triliun. Vonis tersebut dijatuhkan oleh majelis hakim setelah proses persidangan yang menyita perhatian publik.

Kasus ini bermula dari dugaan korupsi yang dilakukan bersama-sama dengan sejumlah pihak lain. Harvey Moeis dinilai terbukti melanggar hukum dan menyebabkan kerugian besar bagi negara.

Meski demikian, putusan majelis hakim ini jauh lebih ringan dibanding tuntutan jaksa, yang sebelumnya meminta hukuman penjara selama 12 tahun.

Perbedaan signifikan antara vonis dan tuntutan jaksa menimbulkan berbagai pertanyaan dari publik, termasuk mengenai dasar pertimbangan hakim dalam memberikan hukuman. Banyak pihak menilai bahwa putusan ini tidak sebanding dengan besarnya kerugian negara yang ditimbulkan.