Fenomena Iklan di Media: Studi Pada Iklan Skincare dalam Perspektif Albrecht Wellmer
FeatureNewsHot
Redaktur: Redaksi

Djudjur Luciana Radjagukguk

Ditulis Oleh: Djudjur Luciana Radjagukguk, S.Sos., M,Si

Kepala Progam Studi Ilmu Komunikasi (Dosen) Universitas Nasioal

Mahasiswa Doktoral Ilmu Komunikasi Pasca Universitas Sahid

Jakarta-Perempuan sering kali menjadi target utama dalam industri kecantikan yaitu dunia iklan. Iklan tidak hanya menawarkan produk, tetapi juga membawa nilai-nilai, norma sosial, dan bahkan ideologi yang secara halus memengaruhi cara pandang perempuan terhadap diri mereka sendiri, peran mereka dalam masyarakat, dan standar kecantikan yang harus dipenuhi. Fenomena iklan di media, khususnya dalam industri kecantikan dan perawatan kulit (skincare), telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan perempuan modern. Iklan ini tidak hanya berfungsi sebagai alat pemasaran untuk meningkatkan penjualan produk, tetapi juga berperan dalam membangun dan mempertahankan persepsi publik mengenai standar kecantikan ideal. Dalam iklan skincare, citra yang sering dihadirkan melibatkan kulit yang mulus, putih, bercahaya, dan tanpa cela. Ini merupakan sebuah gambaran yang menciptakan ekspektasi sosial terhadap penampilan fisik, terutama bagi perempuan.

Standar kecantikan yang dihasilkan iklan sering kali dianggap sebagai sesuatu yang alami dan tidak terbantahkan. Fenomena iklan skincare merupakan cerminan kompleks dari bagaimana media, industri, dan masyarakat saling berinteraksi dalam membentuk standar kecantikan. Perspektif kritis seperti yang dijelaskan oleh Albrecht Wellmer memberikan alat untuk mengevaluasi dampak estetika dan etika dari fenomena ini. Dengan pendekatan yang lebih inklusif, jujur, dan bertanggung jawab, iklan dapat menjadi alat komunikasi yang tidak hanya efektif, tetapi juga membawa perubahan positif dalam masyarakat.

Selain itu, kritik terhadap estetika menjadi aspek lain yang penting dalam teori Wellmer. Iklan sering kali menggunakan estetika untuk memperkuat pesan-pesan komersial yang mengutamakan serta mengekalkan norma-norma sosial tertentu, seperti idealisasi kecantikan dala pandangan yang sempit. Dalam hal ini, Wellmer mengingatkan bahwa estetika tidak hanya berfungsi untuk mempercantik atau memperkuat iklan, tetapi juga bisa menjadi alat dominasi yang membatasi ruang ekspresi dan memperkuat hierarki sosial. Namun, estetika juga bisa menjadi sarana resistensi, membuka peluang bagi kritik sosial terhadap standar-standar kecantikan yang homogen dan eksklusif.

Fenomena iklan skincare dalam konteks ini menjadi menarik untuk dikaji karena tidak hanya berdampak pada perilaku konsumsi, tetapi juga mempengaruhi identitas sosial dan representasi gender. Iklan-iklan tersebut sering kali mengobjektifikasi perempuan, memperkuat narasi bahwa penampilan fisik adalah ukuran utama kesuksesan dan penerimaan sosial. Hal ini menciptakan tekanan sosial yang signifikan bagi perempuan untuk menyesuaikan diri dengan standar-standar kecantikan yang dipromosikan, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi kesehatan mental, harga diri, dan penerimaan diri mereka.

Lebih jauh, Albrecht Wellmer adalah salah satu tokoh penting dalam tradisi Teori Kritis yang dipengaruhi oleh Mazhab Frankfurt. Karyanya mengkritik modernitas, terutama dalam konteks rasionalitas instrumental yang mendominasi kehidupan sosial dan budaya. Menurut Wellmer (1991), rasionalitas instrumental mengarahkan manusia pada tujuan-tujuan pragmatis dan efisiensi tanpa mempertimbangkan nilai-nilai etis atau dampak sosial yang lebih luas. Dalam konteks iklan skincare, hal ini tercermin dalam bagaimana perusahaan menciptakan kebutuhan buatan melalui penciptaan standar kecantikan yang sempit dan eksklusif, yang tujuannya adalah memaksimalkan keuntungan (Wellmer, 1991).

Selain itu, Wellmer juga menekankan pentingnya kritik estetika sebagai bentuk kritik sosial. Ia berpendapat bahwa estetika memiliki peran ganda: di satu sisi, estetika dapat digunakan untuk memperkuat narasi para dominan, seperti yang sering terjadi dalam iklan. Di sisi lain, estetika juga dapat menjadi alat resistensi yang menantang standar-standar yang mendominasi. Pendekatan ini relevan untuk menganalisis bagaimana estetika dalam iklan skincare digunakan untuk mengukuhkan norma-norma kecantikan tertentu dan bagaimana ini dapat dipertanyakan dari perspektif etis dan sosial (Wellmer, 1993).

Rasionalitas Instrumental dalam Iklan

Konsep rasionalitas instrumental yang pertama kali dikemukakan oleh Max Horkheimer dan Theodor Adorno (1972) dalam karya mereka Dialectic of Enlightenment, menjelaskan bahwa modernitas mendorong dominasi rasionalitas yang berorientasi pada efisiensi dan kontrol, yang sering kali mengorbankan nilai-nilai humanis. Dalam konteks iklan, rasionalitas instrumental ini dapat dilihat dari bagaimana iklan skincare menyederhanakan dan memanipulasi pesan agar konsumen termotivasi untuk membeli produk yang ditawarkan. Iklan sering kali tidak hanya menjual produk, tetapi juga menjual harapan, fantasi, dan kecantikan yang tidak realistis.

Lebih lanjut, Habermas (1984) dalam The Theory of Communicative Action menekankan bahwa rasionalitas komunikatif, yang melibatkan diskusi yang terbuka dan bebas dari dominasi, adalah solusi dari rasionalitas instrumental yang merusak. Dalam analisis terhadap iklan skincare, penting untuk mengkaji bagaimana komunikasi yang terjadi antara perusahaan dan konsumen sering kali bersifat distorsif dan tidak adil, karena didorong oleh kepentingan ekonomi semata.

Estetika dan Representasi dalam Iklan Skincare

Estetika memainkan peran penting dalam dunia periklanan, terutama dalam industri kecantikan. Menurut Judith Williamson (1978) dalam karyanya Decoding Advertisements, iklan tidak hanya berfungsi untuk menjual produk tetapi juga membentuk makna sosial yang berkaitan dengan nilai-nilai budaya, termasuk nilai-nilai estetika yang meliputi citra kecantikan. Representasi dalam iklan skincare sering kali menampilkan perempuan dengan kulit putih mulus sebagai standar kecantikan yang harus dicapai, yang mencerminkan hegemoni rasial dan gender dalam budaya populer.

Selain itu, Naomi Wolf (1991) dalam The Beauty Myth berargumen bahwa standar kecantikan yang dipromosikan oleh media, termasuk iklan, tidak hanya menciptakan ekspektasi yang tidak realistis terhadap penampilan perempuan tetapi juga mengendalikan perilaku mereka. Standar kecantikan ini cenderung menciptakan citra tubuh yang tidak realistis dan menciptakan tekanan sosial untuk mengikuti norma-norma kecantikan tersebut.

Dampak Sosial Standar Kecantikan dalam Media

Media memiliki kekuatan besar dalam membentuk persepsi masyarakat tentang kecantikan, yang sering kali berdampak pada identitas sosial dan psikologis individu. Iklan skincare yang menampilkan citra perempuan ideal sering kali menciptakan tekanan sosial bagi perempuan untuk menyesuaikan diri dengan standar tersebut. Ada banyak riset tentang dampak negatif dari iklan kecantikan terhadap harga diri perempuan dan bagaimana iklan memperkuat norma-norma patriarki melalui representasi yang sempit tentang kecantikan. Iklan, membentuk persepsi tubuh perempuan dan menciptakan tuntutan sosial yang tidak realistis terhadap penampilan. Dalam hal ini, iklan skincare memainkan peran penting dalam membangun narasi tentang apa yang dianggap sebagai kecantikan ideal, yang sering kali eksklusif dan diskriminatif.

Iklan sebagai Alat Konstruksi Sosial

Iklan skincare tidak berdiri sendiri; ini merupakan produk dari konstruksi sosial yang berakar pada nilai-nilai yang dikembangkan oleh masyarakat. Standar kecantikan seperti kulit putih atau tanpa noda sering kali dianggap sebagai sesuatu yang "alami" dan "normal," padahal ini adalah hasil dari proses yang panjang dalam membentuk persepsi publik. Media menjadi agen yang secara konsisten mereproduksi dan memperkuat konstruksi tersebut melalui berbagai platform, mulai dari televisi hingga media sosial.

Fenomena kecantikan ini, sering kali memanfaatkan narasi bahwa "cantik" identik dengan "sempurna," yaitu tidak adanya cacat atau kekurangan pada kulit. Dalam konteks ini, iklan menggunakan estetika yang dipoles dengan teknik fotografi, pencahayaan, dan editing agar menampilkan citra yang ideal tetapi tidak realistis. Akibatnya, banyak konsumen, terutama perempuan, merasa tertekan untuk mencapai standar kecantikan yang hampir mustahil.