
Ketua PBNU Bidang Kesejahteraan Keluarga, Alissa Wahid. Foto : Istimewa
Jakarta, tvrijakartanews - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyatakan kekecewaannya atas terbitnya Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian.
Regulasi tersebut dinilai berpotensi menormalisasi poligami dan memperkuat pandangan yang mengobjektifikasi perempuan.
Ketua PBNU Bidang Kesejahteraan Keluarga, Alissa Wahid, menilai bahwa aturan tersebut dapat menimbulkan persepsi keliru di masyarakat.
"Walaupun dibolehkan dalam agama Islam, tapi dalam Undang-Undang Perkawinan agama Islam jelas. Jika ada kebijakan seperti ini kesannya normalisasi," kata Alissa dalam keterangannya kepada wartawan di Jakarta, Jumat (24/1/2025).
Pergub yang diterbitkan oleh Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Teguh Setyabudi, menuai kritik tajam dari berbagai kalangan.
Meskipun Pemprov DKI beralasan bahwa aturan ini bertujuan memberikan perlindungan hukum bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), sejumlah pihak menilai syarat-syarat yang diatur dalam Pergub tersebut diskriminatif terhadap perempuan.
Beberapa poin yang menjadi sorotan antara lain, seorang ASN pria diperbolehkan mengajukan izin poligami jika istrinya dianggap tidak dapat menjalankan kewajiban, mengalami cacat fisik atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, serta tidak dapat melahirkan keturunan setelah 10 tahun pernikahan.
"Ini jadi pertanyaan saya, mengapa ini negara jadi begini ya. Ini negara melihat dari boleh atau tidak, bukan kemaslahatan. Padahal, harusnya negara memikirkannya adalah kemaslahatan bangsa dalam bahasa Undang-Undang Dasar makmur, adil, sentosa," tegas Alissa.
Lebih lanjut, Alissa menjelaskan bahwa dalam Islam terdapat tiga pertimbangan sebelum seseorang memutuskan berpoligami, yaitu aspek hukum (boleh atau tidak), aspek manfaat (baik atau tidak), serta aspek moral dan sosial (pantas atau tidak).
Secara syariat, poligami memang halal, tetapi harus ditinjau hal ini membawa kebaikan atau justru sebaliknya. Lebih penting lagi, tindakan tersebut pantas atau tidak dalam konteks sosial dan kemaslahatan keluarga.
Alissa pun menekankan bahwa seharusnya kebijakan yang diambil bertujuan untuk memperkuat ketahanan keluarga ASN dengan pendekatan edukatif, bukan dengan melegitimasi poligami.
"Harusnya melindungi keluarga ASN dengan mendidik para ASN untuk tidak poligami," kata Alissa.
Pergub ini masih menuai perdebatan di berbagai kalangan, dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil mendesak evaluasi ulang terhadap aturan tersebut guna memastikan kebijakan yang lebih inklusif dan berpihak pada keadilan gender.

