
Foto: Ikek Dirga
Jakarta, tvrijakartanews - Ekologi mungkin sudah tidak asing lagi terdengar ditelinga kita. Isu Ekologi yang bermuara pada sistem interaksi antara manusia dan lingkungan ini terus dibicarakan dan menjadi residu jika kita melihat dari karya-karya seni rupa. Bagaimanakah keadaan manusia dan lingkungan saat ini? Bagaimana seniman Jerman melihat fenomena ini?
Franziska Fenner, seniman seni rupa wanita dari Jerman dalam pameran yang bertajuk Pasca Masa. Sebuah pameran seni rupa Indonesia yang diselenggarkan oleh Galeri Nasional Indonesia. Franziska yang berasal dari Jerman begitu detail dan terstruktur membuat frame karyanya yang bertema Ekologi dalam pameran senirupa kala itu. Ia membuat 3 karya dalam satu ruang dan semua karya Franziska ini saling berkaitan.
Karya ini berupa sebuah kepala simbol manusia yang terbuat dari bahan residu plastik yang dipadatkan dan dibentuk dengan cara diukir.
"Leluhur kita masih ada, kita tangan mereka untuk bisa merubah sesuatu didalam bumi ini. Jadi mereka dalam membisu, memandang apa yang sebetulnya kita melakukan. Dengan peninggalanya mereka energi-energi kan ada di dalam fosil dengan -hal yang lama,"ucap Franziska.
Franziska mencoba melihat bahwa manusia saat ini merupakan bagian dari hasil orang-orang terdahulu kita. Dia mengartikan bahwa kita (manusia sekarang) adalah bagian dari para leluhur yang dapat digambarkan dengan idiom tangan seperti yang digambarkan. Manusia tidak terlepas dari pada leluhur yang memiliki energi, baik energi positif maupun energi negatif dan kita harus menerima kenyataan itu.
Karya Kedua
Dengan menggunakan bahasa Indonesia yang fasih Franziska kemudian menjelaskan karya keduanya dengan detail. Karya kedua disebut sebagai expanded social system. Karya Franziska ini berupa karya instalasi berbentuk boneka wanita yang berada di tengah-tengah tanah yang tumbuh pepohonan. Bentuk tangan boneka perempuan ini menyentuh tanah dan badan boneka wanita ini terhubung sebuah kabel yang berasal dari tanah dan yang unik dalam instasi ini adalah sebuah layar kecil yang berada dalam kepala boneka ini yang merupakan layar tersebut berisi sebuah video orang-orang secara bergantian hadir dan mereka adalah orang-orang terdekat yang memiliki hubungan dalam aktifitas sosial diri kita.
"Kenapa dia sangat-sangat terhubung di situ ini kita bisa melihat dari dua sisi. Pertama microlave dan satu macrolave. Jadi saya ingin mengajak, memikir untuk mengekspansi pikiran kita tentang sistem sosial ke elemen-elemen lain yang memang ada di planet ini. Karena sistem yang sebelumnya dipikirkan hanya untuk seorang manusia, sedangkan kita ga sendiri," lugas Franziska.
Franziska menjelaskan bahwa betapa pentingnya keharmonisan dalam mejaga bumi. Manusia, hewan dan tumbuhan adalah satu bentuk harmonisasi diri dalam ekologi yang wajib bagi manusia untuk terus saling bersinergi sebagai makhluk muka bumi.
Karya Ketiga
Karya Franziska yang terakhir dalam pameran adalah Flower of a Countries United. Sebuah instalasi seperti lukisan berbentuk papan berukuran 1x2 meter dengan materi konten berupa imaji wanita penuh benda-benda dan digambarkan penuh dengan warna. Karya ini bercerita tentang seorang pemulung dari Piyungan yang ingin di angkat derajatnya layaknya sosok Bunda Maria. Sosok pemulung ini dengan pekerjaanya yaitu mengais barang-barang sampah yang seharusnya layak naik derajat dan mendapat tempat di kehidupan (sosial) karena simbolisasi perempuan dalam karyanya ini adalah seorang agen perubahan sosial yang menjadi fundamental dalam pekerjaanya terutama pekerjaanya di bumi. Dengan melakukan aktifitas yaitu mengais barang sampah barang tersebut adalah barang sampah yang sulit terurai ini menjadi pekerjaan paling besar manfaatnya terkait bumi.
"Apa yang dia lakukan sangat-sangat signifikan untuk lingkungan kita dan sebetulnya dia butuh kenaikan derajat yang dia punya di dalam masyarakat karena dia agen lingkungan" ucap Franziska yang mengajak anak lelakinya ini dalam pameran malam hari itu.
Franziska Fennert menempuh pendidikan sarjana dan master seni rupa di Academy of Fine Arts Dresden, Jerman (2009, 2011). Sejak tahun 2013 ia berkarya dan bermukim di Yogyakarta. Melalui karyanya berusaha memahami perilaku manusia, konstruksi ekonomi, dan struktur sosial dalam konteks global. Sejak berpartisipasi dalam Nature Art Residency, Tsukuba, Jepang 2018, dia melihat lingkungan yang teremansipasi sebagai bagian penting dari sistem sosial yang progresif. Pada 2019 bergabung dengan Indonesian Upcycle Forum untuk mengeksplorasi ekonomi sirkular dan spiritualitas Jawa sebagai alternatif dari kapitalisme. Setahun berselang, Franziska memprakarsai pembangunan candi yang terbuat dari sisa-sisa plastik yang dilebur menjadi bata di samping tempat pembuangan sampah Piyungan, Yogyakarta, yang kemudian secara kolektif berevolusi menjadi Monumen Antroposen. Karya-karya Franziska dinominasikan untuk penghargaan Warsteiner 2018 dan ditampilkan di 19th Asian Art Biennial Bangladesh 2022/23, serta di Woman Artist Biennial Macau pada tahun 2020
(Ikek Dirga).

