
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mochammad Afifuddin.
Jakarta, tvrijakartanews - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mochammad Afifuddin menyebut pemisahan jadwal penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah dengan jeda waktu 2,5 tahun bisa lebih meringankan beban penyelenggara.
"Kalau pemilu begini (dipisah dengan jarak 2,5 tahun) secara waktu ini lebih meringankan penyelenggara," kata Afifuddin dalam webinar bertajuk 'Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal: Menata Ulang Demokrasi Elektoral Indonesia' pada Kamis (17/7/2025).
Menurut dia, KPU melihat akan pentingnya putusan MK Nomor 135/PUU-XXIII/2025 mengenai masa jeda atau jarak antar pemilu dengan pilkada.
Berkaca dengan Pilkada serentak pada November 2024, kata Afifuddin, persiapan penyelenggaraannya sudah dimulai sejak awal tahun, sehingga beban kerja penyelenggara akan berat.
Di sisi lain, Afif mengungkapkan pada evaluasi dari penyelenggaraan pemilu dan pilkada lalu bahwa penyelenggara butuh waktu selama dua puluh bulan untuk mempersiapkan diri dalam penyelenggaraan pilkada serentak 2024.
"Sesungguhnya usai penyelenggaraan pemilu dan pilkada serentak 2024 lalu, penyelenggara pemilu masih harus bekerja hingga tiga tahun ke depan,” ujar dia. Afif.
Untuk itu, Afifuddin menilai putusan MK memisahkan pemilu nasional dengan daerah sebagai bentuk upaya memperbaiki pesta demokrasi yang lebih baik.
"Putusan MK ini harus kita lihat sebagai upaya untuk memperbaiki dan menciptakan pemilu dan kehidupan demokrasi yang kian baik dari perspektif penyelenggara dan pesertanya," imbuh dia.
Sementara itu, Pakar Hukum Kepemiluan Universitas Andalas (Unand) Khairul Fahmi memberikan pandangan terkait perkembangan kebijakan hukum pemilu.
Pada 2004–2009, penyelenggaraan pemilu telah dilakukan secara terpisah antara pemilu legislatif, pilpres, dan pilkada pada masing-masing daerah. Kemudian pada 2019–2024 pemilu legislatif pilpres digelar serentak, serta pemilukada juga digelar serentak.
Khairul melanjutkan, ketika membaca kembali Putusan MK 135/PUU-XXIII/2025, maka yang terjadi berupa pergeseran tafsir dengan metode penafsiran (metode ethical) dengan lebih mempertimbangkan aspek kemudahan bagi pemilih menentukan pilihan, kerumitan parpol dalam proses pencalonan, dan beratnya beban penyelenggaraan pemilu, sehingga model kesentakan yang konstitusional adalah serentak nasional dan lokal.
Konsekuensi dari tafsir baru ini bagi Pasal 22E ayat (2) bahwa tidak lagi bermakna sebagai norma keserentakan pemilu, melainkan hanya norma yang mengatur jenis pemilu. Sementara bagi Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 22E ayat (2) bahwa Pilkada merupakan bagian dari pemilu, sistem dan modelnya menjadi bagian dari sistem pengisian pemerintahan daerah dalam kerangka otonomi daerah dalam NKRI.
Kemudian Pasal 22E ayat (2) dapat dimaknai bahwa asas keberkalaan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 akan mengalami transisi, khususnya untuk pemilu DPRD provinsi dan kabupaten/kota yang tidak akan dilaksanakan pada Pemilu 2029.
“Masalah ini tunduk pada teori transisi hukum dalam pembentukan kebijakan hukum, sehingga putusan MK tidak dapat dinilai bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Pemilu 2029 tetap terlaksana untuk memilih Presiden, anggota DPR dan DPD, sehingga norma Pasal 22E ayat (1) juga tidak terlanggar dengan adanya Putusan MK,” jelas Khairul Fahmi.

