KPK Duga Perum Perhutani Tahu Soal Suap Pengelolaan Hutan di Inhutani V
NewsHot
Redaktur: Heru Sulistyono

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus dugaan suap perizinan pengelolaan kawasan hutan. Mereka adalah Direktur Utama PT Eksploitasi dan Industri Hutan (Inhutani V), Dicky Yuana Rady (DIC), Djunaidi (DJN) selaku Direktur PT PML dan Aditya (ADT) selaku staf perizinan SB Grup.

Jakarta, tvrijakartanews - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga Perum Perhutani mengetahui adanya praktik suap pengelolaan kawasan hutan di Inhutani V.

Materi ini didalami KPK saat memeriksa sejumlah pihak Perum Perhutani, termasuk Direktur Utama (Dirut) Perum Perhutani, Wahyu Kuncoro pada beberapa waktu lalu.

"Dalam proses penyidikannya KPK memanggil para saksi yang diduga mengetahui terkait dengan pengelolaan di Inhutani," kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, dikutip Kamis (9/10/2025).

Selain itu, KPK juga akan menelusuri kemungkinan adanya praktik suap Inhutani V dalam pengelolaan kawasan hutan di wilayah lain, termasuk dugaan tindak pidana dengan modus serupa atau modus lainnya.

Dengan begitu, pemeriksaan terhadap saksi-saksi itu perlu dilakukan untuk melengkapi berkas perkara penyidikan.

"KPK tentu akan menelusuri apakah praktik-praktik di Inhutani V ini juga terjadi di wilayah-wilayah lainnya," kata Budi.

"Apakah praktik-praktik dugaan tindak pidana korupsi baik dengan modus serupa ataupun modus lainnya juga terjadi di dalam pengelolaan hutan tersebut," tambah dia.

Dalam perkara ini, KPK menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus dugaan suap perizinan pengelolaan kawasan hutan di Inhutani V.

Mereka adalah Direktur Utama PT Eksploitasi dan Industri Hutan (Inhutani V), Dicky Yuana Rady (DIC), Djunaidi (DJN) selaku Direktur PT PML dan Aditya (ADT) selaku staf perizinan SB Grup.

Dicky sebagai pihak penerima, diduga melakukan perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sementara, Djunaidi dan Aditya sebagai pihak pemberi, diduga melakukan perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

KPK juga menyita sejumlah barang bukti dalam kasus tersebut, yakni uang tunai senilai 189.00 Dollar Singapura, apabila mengikuti kurs hari ini sekitar Rp 2,4 miliar, satu unit mobil Rubicon dan Toyota Pajero milik Dicky.

Konstruksi kasus

Adapun konstruksi kasus ini berawal kerja sama Inhutani V dengan PT Paramitra Mulia Langgeng (PML) soal pengelolaan kawasan hutan seluas 55,157 hektare di Lampung. Dalam perjalanannya, PT PML tidak memenuhi kewajiban membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk periode 2018–2019 senilai Rp 2,31 miliar.

Selain itu, perusahaan tersebut juga menunggak pembayaran pinjaman dana reboisasi sebesar Rp 500 juta per tahun dan belum menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan bulanannya.

Namun, PT PML kembali mengelola kawasan hutan di Register 42 (Rebang) sekitar 12.727 hektar, Register 44 (Muara Dua) sekitar 32.375 hektar dan Register 46 (Way Kanan) sekitar 10.055 hektar, sesuai perjanjian kerja sama yang telah direvisi pada 2018.

Padahal, berdasarkan putusan Mahkamah Agung pada 2023, perjanjian kerja sama yang telah direvisi pada 2018 dinyatakan tetap berlaku dan PT PML juga diwajibkan membayar ganti rugi sebesar Rp 3,4 miliar.

Kendati demikian, perjanjian kerja sama ini tetap tercapai setelah pertemuan antara jajaran direksi dan dewan komisaris PT Inhutani dengan Djunaidi selaku Direktur PT PML beserta timnya di Lampung pada Juni 2024.

Prosesnya dituangkan dalam kesepakatan pengelolaan hutan oleh PT PML melalui RKUPH (Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hutan).

Berselang beberapa bulan, Djunaidi mentransfer Rp 4,2 miliar ke rekening PT Inhutani V untuk biaya pengamanan tanaman dan kebutuhan perusahaan. Pada saat yang sama, Dicky menerima uang tunai Rp100 juta dari Djunaidi, yang menurut KPK digunakan untuk kepentingan pribadi.