
Ilustrasi rupiah (freepik)
Jakarta, tvrijakartanews - Nilai tukar rupiah ditutup melemah penguatan pada penutupan perdagangan setelah melemah cukup dalam. Rupiah menguat sebesar 21 poin.
Dikutip dari data Bloomberg, Kamis (10/1/2024), nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ditutup di level Rp15.549 per USD. Mata uang Garuda tersebut menguat 21 poin atau setara 0,13 persen. Sedangkan data dari Yahoo Finance dolar menguat 19 poin atau 0,12 persen di level Rp15.549.
Analis pasar uang Ibrahim Assuaibi mengatakan, pasar sekarang menunggu data utama indeks harga konsumen (CPI) AS untuk bulan Desember, yang akan dirilis hari ini. Inflasi IHK umum diperkirakan sedikit meningkat, sementara IHK inti diperkirakan terus turun.
"Inflasi diperkirakan akan tetap jauh di atas target tahunan The Fed sebesar 2%, dan ditambah dengan tanda-tanda ketahanan pasar tenaga kerja baru-baru ini, menjadi pertanda buruk bagi ekspektasi penurunan suku bunga lebih awal," ujarnya.
Menurutnya, para pedagang tampaknya masih mempertahankan ekspektasi mereka terhadap penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin pada bulan Maret, meskipun ada sedikit pemangkasan pada minggu lalu.
"Alat CME Fedwatch menunjukkan para pedagang memperkirakan peluang pemotongan suku bunga sebesar 67,1% di bulan Maret, naik dari 60,8% yang terlihat sehari lalu dan 64,7% yang terlihat pada minggu lalu," tuturnya.
Taruhan terhadap penurunan suku bunga, Ibrahim lebih awal muncul kembali pada minggu ini setelah beberapa pejabat Fed menyatakan bahwa suku bunga tinggi berfungsi seperti yang diharapkan dalam menurunkan inflasi.
"Mereka juga tidak memberikan petunjuk kapan The Fed akan mulai menurunkan suku bunganya. Konsensus umum adalah penurunan suku bunga setidaknya 100 hingga 150 bps pada tahun ini," ucapnya.
Dikatakan Ibrahim, fokus pasar saat ini tertuju pada angka perdagangan dan inflasi dari Tiongkok, yang akan dirilis pada hari Jumat ini, untuk mengetahui isyarat ekonomi lebih lanjut terhadap importir tembaga terbesar di dunia tersebut.
Sebelumnya, Wakil Presiden Bank Sentral Eropa Luis de Guindos mengatakan pada Rabu pagi bahwa zona euro mungkin telah berada dalam resesi pada kuartal terakhir dan prospeknya masih lemah. Bank Sentral Eropa (ECB) telah mencoba mempertahankan suku bunga pada rekor tertinggi selama beberapa waktu, namun kemungkinan besar akan mendapat tekanan untuk melonggarkan kebijakan moneter dalam waktu dekat.
Pemerintah Optimis Ekonomi Indonesia Tumbuh
Ibrahim mengatakan pemerintah tetap optimistis meski Bank Dunia atau World Bank merevisi ke bawah outlook ekonomi global 2024 dari 2,6% menjadi 2,4%. Sinyal perlambatan ekonomi 2024 pada dasarnya memang sudah muncul sejak 2023, namun angkanya terus direvisi ke bawah.
"Pemerintah telah mengantisipasi perlambatan global tersebut yang berpotensi mempengaruhi ekonomi Indonesia," tuturnya.
Lebih lanjut, Ibrahim menuturkan saat ini disrupsi mulai dari suplai barang, isu perubahan iklim, harga komoditas, dan pengetatan moneter memang menjadi faktor utama perlambatan ekonomi global.
"Untuk itu, dalam jangka pendek, pemerintah akan terus mendorong daya beli masyakarat dengan penyaluran bantuan sosial (bansos) berupa beras dan bahan pokok Mengingat hingga kuartal ketiga 2023, bahwa produk domestik bruto (PDB) masih didominasi oleh konsumsi rumah tangga," tambahnya.
Ibrahim melanjutkan bantuan, akan dimulai dari kuartal pertama 2024, bukan pada akhir tahun seperti yang dilakukan pada 2023. Hal tersebut sebagai upaya untuk menjaga ekonomi Indonesia tetap sesuai target pemerintah di angka 5,2% pada 2024.
"Adapun, Bank Dunia meramalkan ekonomi Indonesia pada 2024 dan 2025 akan stabil di 4,9 persen, lebih rendah dari ramalan 2023 di angka 5 persen. Dengan adanya perlambatan ekonomi global , kinerja ekspor diprediksi akan menurun," paparnya.
Terlebih, Bank Dunia memprediksikan ekonomi untuk pangsa pasar ekspor utama Indonesia, yaitu China, dalam dua tahun ini akan terus melambat. Pada 2024 menjadi 4,5 persen, turun dari estimasi 2023 sebesar 5,2 persen dan terus menurun pada 2025 menjadi 4,3 persen.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan kumulatif Indonesia sepanjang Januari hingga November 2023 turun US$16,91 miliar dari periode yang sama pada 2022. Neraca perdagangan barang kembali mengalami surplus selama 43 bulan berturut-turut meskipun lebih rendah dibandingkan dengan bulan yang sama tahun lalu.

