TKN Sebut Pemerintah Perlu Berikan Intensif Agar Mekanisme Carbon Trading Berjalan
Cerdas MemilihNewsHot
Redaktur: TVRI Jakarta Portal Team

TKN Prabowo-Gibran saat menggelar konferensi pers mengenai carbon trading. Foto M Julnis Firmansyah

Jakarta, tvrijakartanews - Pakar karbon, climate, dan sustainability dari TKN Prabowo-Gibran, Glory H. Sihombing, menyebut pemerintah perlu menyediakan intensif agar mekanisme carbon trading bisa segera berjalan. Mekanisme carbon trading ini, kata Glory, diperlukan untuk mengatasi krisis perubahan iklim.

Glory menyebut Presiden Joko Widodo atau Jokowi sudah pernah meluncurkan Bursa Karbon Indonesia di Bursa Efek Indonesia pada September 2023. Namun, ia mengatakan program tersebut belum berjalan optimal karena mekanisme carbon trading yang belum siap dan intensif yang belum ada.

"Kalau memang belum ada insentif untuk membeli dari sisi carbon tax-nya,

itu (penerapan carbon trading) juga akan susah," kata Glory di Medcen TKN Prabowo-Gibran, Jakarta Selatan, Kamis, 18 Januari 2024. "Nah, mekanisme (carbon trading) ini akan bisa berjalan ketika nanti ada insentif, di mana dia ada penerapan carbon tax," tambahnya.

Lebih lanjut, ia mengatakan jika kebijakan carbon tax seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 sudah berjalan, nantinya akan memicu berjalannya mekanisme pasar karbon. Sehingga, menurut dia, akan ada banyak industri mulai membayar pajak karbonnya.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Indonesia Carbon Trade Association, Riza Suarga menjelaskan alasan pemerintah belum juga memberlakukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 yang mengatur tentang pajak karbon. Menurut dia, ada berbagai langkah-langkah yang harus diselesaikan pemerintah sebelum akhirnya memberlakukan carbon tax. Seperti misalnya dengan lebih dahulu menyepakati besaran harga carbon credit.

Ia memaparkan sempat ada wacana tarif carbon credit di Indonesia sekitar Rp30.000 atau sekitar US$2,09 per ton emisi karbon dioksida ekuivalen (tCO2e). Angka tersebut dinilai Riza terlalu murah dan membuat pemerintah masih menahan penerapan UU pajak karbon.

"Ya jelas tidak menarik. Jadi harga carbon credit kita juga pasti akan susah untuk naik. Orang akan berpikir mendingan bayar, gitu kan. Daripada beli dengan harga carbon credit di pasar sukarela yang sudah sekitar US$10," kata dia.

Di sisi lain, Riza menyebut pemerintah juga tidak ingin menaikan carbon credit terlalu tinggi seperti di negara barat. Sebab, nantinya hal itu akan memengaruhi kondisi ekonomi masyarakat dan membuat terjadinya inflasi

"Jadi memang ini harus ada kajian yang lebih lebih detail. Saya mungkin bisa memahami Kenapa ditunda pajak karbon itu karena itu tadi alasannya," kata Riza.