
Migrant Care saat memaparkan catatan awal pemantauan pemilu di luar negeri, yang diselenggarakan di Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (18/1/2024). Foto: Chaerul Halim.
Jakarta, tvrijakartanews - Migrant Care menilai metode pemungutan suara warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri, dengan mekanisme melalui pos berpotensi memiliki tingkat kecurangan yang tinggi.
Untuk diketahui, Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) telah menetapkan tiga metode yang dipakai untuk pemilu 2024 di luar negeri.
Di antaranya, pemilih bisa mencoblos di tempat pemungutan suara di luar negeri (TPSLN) atau melalui kotak suara keliling (KSK) dan Pos.
Staf Pengelolaan Pengetahuan, Data, dan Publikasi Migrant Care, Trisna Dwi Yuni Aresta mengatakan, hal itu lantaran pemungutan suara menggunakan metode Pos tak memiliki sistem pelacakan dan mekanisme yang pasti.
Karena itu, Migrant Care menilai bahwa metode itu sulit dilacak dan transparan.
"Kalau metode pos itu adalah metode yang susah untuk dilacak, susah untuk transparan bagi kita semua, bahwa surat suara itu ke mana larinya dan akan dikembalikan atau tidak?" ucap Trisna dalam konferensi pers catatan awal pemantauan pemilu luar negeri di Kuningan, Kamis (18/1/2024).
Di samping itu, Trisna mengatakan, berkaitan dengan indeks kerawanan pemilu di luar negeri yang paling tinggi, yakni Malaysia.
Menurut dia, data itu selaras dengan temuan dan laporan WNI di Negeri Jiran itu. Salah satunya, pekerja sawit yang tak masuk dalam daftar pemilih tetap di luar negeri (DPT-LN) dalam pemungutan suara.
"Ada yang tidak terdaftarnya pekerja sawit dalam DPT-LN atau/dan pekerja migran yang kemudian mendaftarkan dirinya dalam mekanisme metode pemilihan TPS, namun ternyata dalam penetapannya, dia (metode pemilihannya) di Pos," ucap dia.
Sebelumnya diberitakan, Migrant Care menemukan permasalahan dalam pendistribusian surat suara kepada pekerja migran Indonesia (PMI) yang masuk dalam DPT.
Trisna mengatakan, pemasalahan itu dialami oleh sejumlah PMI yang berada di empat negara, yakni Hongkong, Malaysia, Taipei dan Singapura.
Padahal, mereka telah mendaftarkan lebih dahulu.
"Ada empat negara di wilayah Singapura, Malaysia Hongkong dan Taipei. Di empat wilayah ini, semuanya mengeluhkan hal yang sama terkait bagaimana suara belum terdistribusikan dengan baik atau DPT LN-nya juga bermasalah," kata Trisna.
Dengan kondisi itu, Migrant Care berpandangan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) tak serius dalam pendataan warga Indonesia di luar negeri.
Di samping itu, Trisna mengatakan, ada pula penurunan jumlah DPT LN yang ditetapkan KPU, yakni hanya 1,7 juta orang. Padahal, sedikitnya ada 7 juta warga Indonesia yang berada di luar negeri.
Dia menjelaskan, data pekerja migran di luar negeri berbagai macam versi. Misalnya, menurut Bank Indonesia, jumlahnya ada 3,6 juta, sedangkan Kementerian Ketenagakerjaan menyebut ada 6,5 juta. Kemudian, Bank Dunia memprediksi ada 9 juta.
"Ini hanya pekerja migran saja, belum lagi orang yang mobilisasi dan belum juga mengenai mahasiswa (yang kuliah di luar negeri)," ucap dia.
Melihat hal itu, Trisna berpandangan bisa berpotensi menghilangkan hak politik WNI yang berada di luar negeri.
"Ini sangat jauh sekali dari keterpenuhan data dari pekerja migran itu sendiri. Nah, ini tentu berpotensi besar menghilangkan hak politik yang dimiliki oleh warga negara Indonesia yang mayoritas adalah pekerja migran Indonesia," imbuh dia.

