
Foto: study finds (RF._.studio dari Pexels)
Jakarta, tvrijakartanews - Sebuah studi kritis mengungkap alasan mengapa vaksin Staphylococcus aureus (SA) terus-menerus gagal dalam uji klinis. Para peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas California San Diego mengatakan bahwa SA dapat memanipulasi sistem kekebalan tubuh manusia, sehingga menyebabkan ketidakefektifan vaksin.
Dikutip dari study finds edisi (17/01/2024) Staphylococcus aureus yang terdapat pada sekitar 30% populasi, biasanya tidak berbahaya dan berada di hidung. Namun, penyakit ini juga merupakan penyebab utama infeksi yang didapat di rumah sakit dan di tempat umum. Dokter telah lama mencari vaksin untuk melawan SA, namun masih sulit ditemukan. Para peneliti menguji hipotesis baru. Mereka berpendapat bahwa bakteri SA pada awalnya memicu pelepasan antibodi non-pelindung pada manusia. Ketika divaksinasi, antibodi yang tidak efektif ini akan ditarik kembali, sehingga vaksin menjadi sia-sia.
Dalam rilis universitas, penulis senior studi Dr. George Liu, profesor di Departemen Pediatri di UC San Diego School of Medicine mengatakan SA telah lama ada pada manusia.
“SA telah lama ada pada manusia, sehingga ia belajar bagaimana menjadi simbion paruh waktu, patogen mematikan paruh waktu. Jika kita ingin mengembangkan vaksin yang efektif melawan SA, kita perlu memahami dan mengatasi strategi yang digunakan untuk mempertahankan gaya hidup ini,” kata Dr. George.
Sistem kekebalan biasanya menghasilkan antibodi pelindung terhadap molekul asing yang dikenal sebagai antigen, dan diingat untuk pertemuan berikutnya. Namun, ini hanya berfungsi jika respons awal bersifat protektif, tidak demikian halnya dengan SA.
“Apa yang membedakan SA adalah bahwa bakteri itu sendiri memiliki cara untuk menghindari sistem kekebalan sejak mereka bertemu dengan kita, dan strategi mengelak ini hanya diperkuat dengan vaksinasi,” catat rekan penulis utama studi tersebut, Dr. JR Caldera.
Pendekatan para peneliti ini melibatkan analisis serum darah dari sukarelawan sehat untuk mencari antibodi anti-SA, kemudian mentransfer antibodi tersebut ke tikus untuk menguji kemampuan perlindungannya dan pengaruhnya terhadap kemanjuran kandidat vaksin SA yang ada. Temuan mereka menunjukkan bahwa vaksin tersebut gagal pada tikus dengan antibodi anti-SA manusia atau pernah terpapar SA sebelumnya. Namun, pada tikus tanpa paparan tersebut, vaksin tersebut efektif. Perbedaan ini sejalan dengan kegagalan vaksin SA dalam uji coba pada manusia, tidak seperti penelitian pada tikus sebelumnya.
Studi yang dipublikasikan di jurnal Cell Reports Medicine ini menyebut, tim peneliti menemukan bahwa jenis antibodi itu penting. Antibodi yang menargetkan dinding sel SA, yang menjadi dasar sebagian besar vaksin saat ini, tidak efektif. Sebaliknya, antibodi yang menargetkan racun yang dihasilkan SA berhasil menetralisirnya.
Sementara itu, rekan penulis studi Dr. Chih Ming Tsai, seorang ilmuwan proyek di Liu Lab menuturkan, satu patogen dapat memiliki banyak antigen berbeda yang ditanggapi oleh sistem kekebalan, namun terdapat hierarki mengenai antigen mana yang dominan.
“Sebagian besar vaksin didasarkan pada antigen dominan untuk memicu respons imun sekuat mungkin. Namun temuan kami menunjukkan bahwa untuk SA, aturannya berbeda, dan lebih bermanfaat jika menargetkan apa yang disebut antigen subdominan, yang pada awalnya memicu respons imun yang lemah,” tutur Dr. Chih Ming.
Lebih lanjut, para peneliti kini sedang menyelidiki mengapa respons kekebalan alami manusia terhadap SA biasanya tidak efektif, yang dapat merevolusi tidak hanya pengembangan vaksin SA tetapi juga pendekatan terhadap vaksin-vaksin gagal lainnya.
“Entah bagaimana, SA mampu mengelabui sistem kekebalan tubuh kita, dan menemukan cara untuk membantu kita meningkatkan vaksin SA yang ada dan mengembangkan vaksin baru. Secara lebih luas, temuan ini menunjukkan cara baru untuk mengevaluasi kembali vaksin yang gagal, yang bisa mempunyai implikasi lebih dari sekadar bakteri ini,” simpul Dr. George Liu.

