
Migrant Care saat memaparkan catatan awal pemantauan pemilu di luar negeri di Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (18/1/2024). Foto: Chaerul Halim
Jakarta, tvrijakartnews - Migrant Care menyoroti pemangkasan jumlah tempat pemungutan suara (TPS), tetapi malah memperbanyak skema metode kotak suara keliling (KSK) dan Pos di luar negeri.
Menurut Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo, perubahan metode pemilihan itu bisa berpotensi menurunnya minat pekerja mingran Indonesia (PMI) untuk berpartisipasi dalam konstentasi pemilihan umum (Pemilu) serentak 2024.
Pasalnya, konstentasi pemilu itu bagi PMI tidak sekadar mencoblos surat suara, melainkan sebagai "lebarannya" mereka untuk bertemu dengan kawan-kawannya di TPS.
"Nah, dengan menyurutnya penggunaan mekanisme TPS dan malah perbanyak menggunakan mekanisme Pos itu juga akan menurunkan partisipasi teman-teman pemilih," ucap Wahyu di Kuningan, Kamis (18/1/2024).
Berdasarkan pemantauan Migrant Care pada pemilu 2014 dan 2019, Wahyu mengatakan, PMI yang berpartispasi menggunakan hak suaranya lebih banyak mendatangi TPS.
Bahkan, PMI yang tak masuk dalam daftar pemilih tetap di luar negeri (DPT-LN) berbondong-bondong mendatangi TPS di Victoria Park, Hongkong.
"Nah, selama ini kalau malaysia menggunakan KBRI, sekolah Kuala Lumpur dan KJRI. Dan pada pemilu 2024 nanti, akan menyewa gedung pertemuan umum. Nah, itu untuk meningkatkan partispasi pemilih," kata Wahyu melanjutkan.
Karena itu, Wahyu menyayangkan dengan adanya kebijakan metode pemungutan suara yang ditetapkan KPU.
"Sebenarnya kami menyayangkan kebijakan KPU malah mengurangi metode TPS, tetapi malah memperbanyak metode Pos," imbuh dia.
Untuk diketahui, Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) telah menetapkan tiga metode yang dipakai untuk pemilu 2024 di luar negeri.
Di antaranya, pemilih bisa mencoblos di tempat pemungutan suara di luar negeri (TPSLN) atau melalui kotak suara keliling (KSK) dan Pos.
Dalam kesempatan yang sama, Staf Pengelolaan Pengetahuan, Data, dan Publikasi Migrant Care, Trisna Dwi Yuni Aresta mengatakan, metode pemungutan suara melalui pos berpotensi memiliki tingkat kecurangan yang tinggi.
Sebab, pemungutan suara menggunakan metode Pos tak memiliki sistem pelacakan dan mekanisme yang pasti.
"Kalau metode pos itu adalah metode yang susah untuk dilacak, susah untuk transparan bagi kita semua, bahwa surat suara itu ke mana larinya dan akan dikembalikan atau tidak?" ucap Trisna.
Di samping itu, Trisna mengatakan, berkaitan dengan indeks kerawanan pemilu di luar negeri yang paling tinggi, yakni Malaysia.
Menurut dia, data itu selaras dengan temuan dan laporan WNI di Negeri Jiran itu. Salah satunya, pekerja sawit yang tak masuk dalam daftar pemilih tetap di luar negeri (DPT-LN) dalam pemungutan suara.
"Ada yang tidak terdaftarnya pekerja sawit dalam DPT-LN atau/dan pekerja migran yang kemudian mendaftarkan dirinya dalam mekanisme metode pemilihan TPS, namun ternyata dalam penetapannya, dia (metode pemilihannya) di Pos," ucap dia.

