
Foto: ifl science/NASA/USGS
Jakarta, tvrijkartanews - Seiring berjalannya waktu, bulan yang dulunya panas kini menjadi dingin. Hal ini mempunyai konsekuensi besar terjadinya penyusutan bulan. Ia tidak akan roboh dengan sendirinya seperti soufflé, ia tetap terbuat dari batu. Tapi, seperti buah anggur yang mengalami dehidrasi menjadi kismis, bulan yang menyusut semakin keriput. Bersamaan dengan itu, ada gempa bulan dan tanah longsor.
Dilansir dari ifl science edisi (27/01/2024) sebuah penelitian baru menyelidiki dampak gempa bulan yang tercatat terhadap permukaan bulan, khususnya di sekitar kutub selatan bulan. Penelitian ini menemukan bahwa beberapa lereng permukaan di wilayah tersebut sangat rentan pecah akibat guncangan.
Dalam sebuah pernyataan, Professor Nicholas Schmerr, dari Universitas Maryland, berpendapat bahwa sedimen yang lepas sangat memungkinkan terjadinya guncangan dan tanah longsor.
“Anda bisa membayangkan permukaan bulan kering, dipenuhi kerikil dan debu. Selama miliaran tahun, permukaannya telah dihantam oleh asteroid dan komet, sehingga fragmen sudut yang dihasilkan terus-menerus terlontar akibat benturan tersebut. Hasilnya, material permukaan yang dikerjakan ulang dapat berukuran mikron hingga seukuran batu besar, namun semuanya terkonsolidasi dengan sangat longgar. Sedimen yang lepas sangat memungkinkan terjadinya guncangan dan tanah longsor,” ujar Profesor Nicholas.
Menurut laporan, gempa bulan dangkal tidak terlalu dalam, terjadi pada kedalaman 50–220 kilometer (30 hingga 135 mil) di bawah permukaan. Mereka juga tidak terlalu kuat. Yang terkuat yang pernah tercatat adalah berkekuatan paling besar 5,7, dan berasal dari wilayah kutub selatan. Meski lebih lemah dibandingkan gempa di Bumi, gempa bulan berlangsung selama berjam-jam, menjadikannya kekhawatiran yang tidak bisa dianggap remeh.
“Pemodelan kami menunjukkan bahwa gempa bulan dangkal yang mampu menghasilkan guncangan tanah yang kuat di wilayah kutub selatan mungkin terjadi akibat peristiwa slip pada patahan yang ada atau pembentukan patahan dorong baru,” kata penulis utama studi tersebut, Thomas R. Watters, ilmuwan senior emeritus di bidang tersebut. Pusat Studi Bumi dan Planet Museum Dirgantara dan Luar Angkasa Nasional.
“Distribusi global patahan dorong muda, potensi aktifnya, dan potensi pembentukan patahan dorong baru akibat kontraksi global yang sedang berlangsung harus dipertimbangkan ketika merencanakan lokasi dan stabilitas pos terdepan permanen di bulan,” lanjut Thomas.
Para peneliti terus berupaya memahami wilayah Bulan yang mungkin memiliki risiko seismik signifikan. Daerah-daerah ini harus dihindari untuk pemukiman permanen di masa depan, namun kunjungan singkat pun mungkin berisiko jika terlalu dekat dengan lereng yang goyah.
“Saat kita semakin dekat dengan tanggal peluncuran misi berawak Artemis, penting untuk menjaga astronot, peralatan, dan infrastruktur kita seaman mungkin. Pekerjaan ini membantu kita bersiap menghadapi apa yang menanti kita di bulan, baik itu struktur rekayasa yang dapat lebih tahan terhadap aktivitas seismik bulan atau melindungi manusia dari zona yang sangat berbahaya,” ungkap Proffesor Nicholas.

