
Foto: study finds/ Floris Van Breugel (Universitas Washington) Ilustrasi foto ini menggambarkan seekor ngengat tembakau sedang berjalan menuju bunga di tengah udara yang tercemar oleh emisi gas buang kendaraan
Jakarta, tvrijakartanews - Studi baru memperingatkan bahwa polusi udara dan manusia menjadi salah satu penyebab rusaknya spesies bunga yang bergantung pada penyerbukan malam hari. Penelitian mengungkapkan, polusi udara mengurangi sinyal aroma yang penting bagi penyerbuk malam hari untuk menemukan bunga-bunga ini. Pengurangan ini disebabkan oleh pelepasan bahan kimia ke udara melalui pembakaran gas dan batu bara dari kendaraan, pembangkit listrik, dan kejadian alam seperti kebakaran hutan serta petir.
Sebuah tim di Universitas Washington mengatakan aktivitas ini memicu reaksi kimia yang menghasilkan radikal nitrat (NO3) di atmosfer, yang pada gilirannya menghalangi aroma bunga. Studi mereka menyoroti hubungan penting antara sekitar 180.000 spesies tanaman berbunga dan penyerbuknya, dan mencatat bahwa lebih dari 70 spesies penyerbuk berada dalam risiko kepunahan atau terancam punah.
Jeff Riffell, Profesor Biologi di Universitas Washington, dalam rilis medianya mengatakan NO3 benar-benar mengurangi 'jangkauan' bunga atau seberapa jauh aromanya dapat menyebar dan menarik penyerbuk sebelum bunga tersebut terurai dan tidak terdeteksi.
“Polusi dari aktivitas manusia mengubah komposisi kimia dari petunjuk aroma yang penting, dan mengubahnya sedemikian rupa sehingga penyerbuk tidak dapat lagi mengenali dan meresponsnya,” kata Jeff Riffell dikutip dari Study Finds edisi (08/02/2024).
Penelitian ini berfokus pada pale Evening Primrose, tanaman yang umum ditemukan di Amerika Serikat bagian barat di daerah beriklim kering. Bunga putih yang dikumpulkan dari Washington bagian timur ini mengeluarkan aroma yang memikat berbagai penyerbuk, termasuk ngengat (serangga yang berhubungan dekat dengan kupu-kupu dan kedua-duanya termasuk ke dalam Ordo Lepidoptera) nokturnal yang merupakan salah satu penyerbuk paling penting.
Studi ini menemukan bahwa interaksi dengan NO3 hampir menghilangkan bahan kimia aroma tertentu. Ngengat, yang dapat merasakan bau dari jarak bermil-mil jauhnya dan memiliki indera penciuman ribuan kali lebih tajam dibandingkan manusia, terkena dampak yang signifikan. Eksperimen yang melibatkan sphinx garis putih dan ngengat tembakau di terowongan angin dan dengan sistem stimulus bau yang terkomputerisasi mengungkapkan bahwa, setelah diperkenalkannya NO3, kemampuan ngengat ini untuk mendeteksi aroma bunga berkurang drastis. Tingkat deteksi ngengat tembakau turun hingga 50 persen, sedangkan sphinx garis putih, penyerbuk utama bunga primrose, gagal menemukan bunga tersebut sama sekali.
Tim menemukan bahwa ngengat mengunjungi bunga sintetis dan mengeluarkan aroma yang tidak berubah sama seringnya dengan ngengat asli. Namun, ketika aroma tersebut diolah terlebih dahulu dengan NO3, tingkat kunjungan ngengat turun drastis hingga 7%.
Studi tersebut juga mencatat bahwa sinar matahari memecah NO3 di siang hari, mengurangi dampaknya terhadap polusi di siang hari namun tetap membuat bunga di malam hari rentan. Wilayah yang paling terkena dampak gangguan dalam dinamika penyerbuk tanaman ini meliputi Amerika Utara bagian barat, sebagian besar Eropa, Timur Tengah, Asia Tengah dan Selatan, serta Afrika bagian selatan.
Lebih lanjut, Joel Thornton, Profesor lain di Universitas Washington berpendapat bahwa manusia memerlukan pendekatan holistik seperti ini, terutama jika ingin memahami seberapa luas kerusakan interaksi tanaman-penyerbuk dan apa konsekuensinya.
“Pendekatan kami dapat berfungsi sebagai peta jalan bagi pihak lain untuk menyelidiki bagaimana polutan berdampak pada interaksi penyerbuk tanaman, dan untuk benar-benar memahami mekanisme yang mendasarinya,” ujar Joel Thornton dalam temuan yang dipublikasikan di jurnal Science ini.

