
Foto: Freepik
Jakarta, tvrijakartanews - Program makan siang gratis bagi anak sekolah digadang-gadang untuk mencegah malnutrisi dan stunting. Lalu bagaimana penjelasan para hali mengenai program ini?
Dr. Ngabila Salama, Praktisi Kesehatan Masyarakat, berpendapat bahwa program ini sejatinya bukan untuk mencegah stunting pada anak sekolah, tapi mencegah malnutrisi yang bisa mengancam kesehatan jangka panjang pada anak termasuk calon ibu (anak wanita), karena jika anemia kronis berpotensi melahirkan anak dengan gangguan gizi, pertumbuhan, perkembangan, termasum stunting.
“Malnutrisi tidak hanya gizi kurang (underweight), tetapi juga gizi berlebih (overweight) bahkan obesitas yang dapat meningkatkan risiko hipertensi, DM, penyakit jantung, dan penyakit tidak menular lainnya,” kata dr. Ngabila kepada tvrijakartanews.com Sabtu, (23/03).
Sesuai konsep isi piringku, setengah piring adalah sayur dan buah, setengah piring lainnya karbohidrat dan lauk tinggi protein hewani. Hal ini karena anak masih dalam masa pertumbuhan dan perkembangan. Dr. Ngabila berharap, program makan siang gratis bersama seluruh anak sekolah dapat menjadi budaya yang baik dimulai sejak kecil untuk makan makanan seimbang dan bergizi.
Dr. Ngabila menjelaskan, program ini berpotensi meningkatkan kesadaran anak sekolah (sebagai calon orang tua) untuk memberi pengasuhan tumbuh kembang atau nurturing care terbaik untuk anaknya kelak. Bagi anak wanita, ini dapat menjadi persiapan mental fisik untuk menjadi calon ibu nantinya.
“Menyambut puncak bonus demografi 2030 dan indonesia emas 2045 (mereka saat ini berusia SD atau bahkan lebih muda), mereka juga calon ibu dan ortu yg akan mendidik dan mebiasakan anak2 untuk hidup sehat. Makan adalah sebuah proses belajar dan perlu menjadi budaya yang terus dibiasakan sehari-hari, jika dari kecil anak sukanya jajan, makanan pengawet akan kebiasaan sampai besar,” jelas dr. Ngabila.
Mengutip dari Menkes RI, Budi G. Sadikin, bahwa jika anak sudah ditemukan stunting artinya stadium IV dan sudah terlambat. Stadium I: weight faltering (gagal tumbuh), II: gizi kurang, III: gizi buruk, dan IV: adalah stunting. Kemenkes memperkenalkan 5 cara mencegah stunting melalui ABCDE, yakni:
- Aktif minum Tablet Tambah Darah (TTD)
- Bumil teratur periksa kehamilan minimal 6 kali
- Cukupi konsumsi protein hewani
- Datang ke posyandu setiap bulan
- Eksklusif ASI 6 bulan
Lebih lanjut, dr. Ngabila menyarankan beberapa hal untuk program makan siang gratis, seperti: menu seimbang sesuai konsep isi piringku, tinggi protein hewani, ada sayur dan buah, rendah kadar gula termasuk garam dan lemak, tanpa MSG dan bahan pengawet (menggunakan bumbu atau rempah alami), manfaatkan bahan pangan lokal alami, variatif, menarik, higienis (untuk mencegah keracunan makanan atau diare, penyedia sudah mendapat sertifikat layak hygiene dari puskesmas atau dinkes setempat dan dilakukan monitoring evaluasi berkala serta menu dan variasi makanan sudah disetujui oleh puskesmas setempat disertai kandungan kalori), ramah lingkungan (tidak berkemasan plastik/mika /styrofoam karena tidak ramah lingkungan dan tidak antipanas).
Selain itu, system prasmanan akan lebih baik agar tidak perlu budget kemasan dan dialokasikan untuk protein hewani lebih banyak dan tidak ada tumpukan sampah baru. Piring makan bahan kayu/stainless /melamin /bawa tempat makan masing-masing atau bisa seperti rice bowl. Harus habis dimakan di sekolah, tidak dibawa pulang karena bisa basi, di makan orang tua atau keluarga lain.
“Porsi makan yang diberikan harus sesuai dengan usia, ukuran lambung anak tidak besar kira2 segenggam telapak tangannya, porsi harus pas, agar tidak kurang dan tidak jg berlebih (mubazir). Selanjutnya, strong leadership at all level: koordinasi aktif dinas pendidikan melalui sekolah, puskesmas, dinas ketahanan pangan. Pikirkan pajak untuk penyedia catering, jangan sampai ada sunat anggaran sampai penyedia catering sekecil apa pun, kalau bisa umkm atau pemberdayaan masyarakat lebih baik, ahli gizi di puskesmas dan organisasi profesi di masyarakat perlu dilibatkan dalam penentuan menu, variasi, kalori, dan monitoring evaluasi program yg berjalan,” jelas dr. Ngabila.
Ia melanjutkan, Program ini harus dibuat murah agar bisa direplikasi menunya oleh masyarakat di hari libur atau untuk makan malam. Dengan syarat, makanan tersebut habis di sekolah agar tercapai gizi yang diharapkan dan mencegah adanya makanan basi atau keracunan.

