
Anggota Tim Hukum PDI Perjuangan, Erna Ratnaningsih saat membacakan isi petitum dalam gugatan terhadap KPU di PTUN, Cakung, Jakarta Timur, Selasa (2/4/2024).
Jakarta, tvrijakartanews - PDI Perjuangan resmi menggugat Komisi Pemilihan Umum (KPU) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada Selasa (2/4/2024).
Dalam gugatannya, PDI Perjuangan menyampaikan empat poin tuntutan atau petitum. Salah satunya, PDI Perjuangan memerintahkan KPU untuk menunda pelaksanaan keputusan KPU Nomor 360 tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilu Presiden (pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg).
"Kami meminta penundaan. Dalam hal ini, memerintahkan tergugat (KPU) untuk menunda pelaksanaan keputusan KPU Nomor 360 tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPRD, DPD, dan seterusnya, sampai dengan adanya keputusan yang berkekuatan hukum tetap," kata anggota Tim Hukum PDI Perjuangan, Erna Ratnaningsih di PTUN, Cakung, Jakarta Timur, Selasa.
Kemudian, PDI Perjuangan memerintahkan KPU untuk tidak menerbitkan atau melakukan tindakan administrasi apapun sampai keputusan yang berkekuatan hukum tetap.
Dalam pokok permohonan, Erna mengatakan, pihaknya meminta majelis hakim menerima dan mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya.
"Menyatakan batal keputusan nomor 360, keputusan KPU nomor 360 Tahun 2024 dan seterusnya," sambung dia.
Selain itu, PDI Perjuangan juga memerintahkan KPU untuk mencabut kembali keputusan KPU nomor 360 tahun 2024 dan seterusnya.
"Terakhir adalah memerintahkan tergugat untuk melakukan tindakan mencabut dan mencoret pasangan capres Prabowo dan cawapres Gibran, sebagaimana tercantum dalam keputusan KPU nomor 360 tahun 2024," imbuh Erna.
Adapun, isi petitum itu termaktub dalam gugatan yang teregistrasi dengan nomor perkara 133/G/2024/PTUNJKT.
Berkait dengan klasifikasi gugatan yang dilayangkan itu, Ketua Tim Hukum PDI-P Gayus Lumbuun menilai, bahwa KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam proses menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu).
Dalam hal ini, KPU telah mengabaikan peraturannya sendiri, dengan menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) serta mengikutsertakan dalam pilpres 2024.
"Perbuatan hukum yang dimaksudkan dalam gugatan adalah tindakan penguasa di bidang penyelenggaraan pemilu karena telah mengenyampingkan syarat minimal bagi cawapres, yaitu Gibran Rakabuming Raka. Di mana, KPU menerima pendaftaran atau mengikutsertakan pada proses penyelenggaraan pemilu," kata Gayus.
Dalam kesempatan yang sama, Erna tak menampik bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan itu telah melonggarkan syarat usia minimum capres-cawapres.
Namun, apabila merujuk dengan Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2019, Erna mengatakan, Gibran sebenarnya tak bisa mendaftarkan diri sebagai cawapres lantaran belum cukup umur.
Tetapi, KPU tetap saja menerima pendaftaran tersebut dan menjadikan Gibran sebagai kandidat cawapres, dengan menggunakan peraturan yang sama, yakni Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2019.
"Perbuatan KPU ini melanggar ketentuan hukum, melanggar kepastian hukum. Jadi, KPU menerima pendaftaran pada tanggal 25 dan 27 Oktober 2023. Sementara hasil dari putusan Mahkamah Konstitusi ini, KPU kemudian baru merubah menjadi PKPU Nomor 23 Tahun 2023 tertanggal 3 November 2023. Artinya, mekanisme atau proses pendaftaran penetapan capres dan cawapres itu melanggar hukum atau cacat hukum," imbuh dia.

