
Foto: Pete Oxford/ILCP
Jakarta, tvrijakartanews - Menurut sebuah penelitian selama 12 tahun, populasi ikan tidak pulih kembali di kawasan perlindungan laut di Laut Karibia. Zona lindung dimaksudkan untuk memungkinkan populasi ikan dewasa pulih dari penangkapan ikan yang berlebihan, namun analisis terhadap 111 lokasi di Karibia menemukan bahwa hal ini tidak terjadi dalam banyak kasus.
Para peneliti mengatakan, buruknya penegakan peraturan perlindungan laut, pembangunan pesisir, dan kenaikan suhu air mungkin merupakan penyebabnya. Terumbu Karang Mesoamerika, yang membentang lebih dari 1000 kilometer di sepanjang pantai Karibia di Belize, Guatemala, Honduras, dan Meksiko, adalah rumah bagi berbagai satwa liar, termasuk lebih dari 500 spesies ikan dan 65 spesies karang.
Selama beberapa dekade terakhir, pemerintah negara-negara tersebut telah menetapkan banyak marine protected areas (MPAs) atau Kawasan Perlindungan Laut. Tujuannya untuk melindungi keanekaragaman hayati terumbu karang yang berharga dan memulihkan populasi ikan yang menurun akibat penangkapan ikan berlebihan. Daerah-daerah ini mungkin melarang penangkapan ikan pada waktu-waktu tertentu dalam setahun, melarang jenis peralatan penangkapan ikan tertentu, atau membatasi kegiatan lain seperti pariwisata atau pertambangan.
Melansir new scientist, untuk menilai efektivitas MPAs ini, Steven Canty di Smithsonian Environmental Research Center di Maryland dan rekan-rekannya menganalisis perubahan biomassa ikan antara tahun 2006 dan 2018 di 111 lokasi yang dilindungi dan 28 lokasi yang tidak dilindungi. Data dikumpulkan melalui survei yang dilakukan oleh penyelam scuba sebagai bagian dari Inisiatif Terumbu Karang Sehat .
Tim tersebut menemukan bahwa hanya 11 kawasan perlindungan laut yang mengalami peningkatan biomassa ikan dewasa selama periode penelitian, yang menunjukkan bahwa populasi mereka meningkat. Sementara itu, populasi ikan dewasa menurun di 28 lokasi yang dilindungi, sedangkan sisanya tidak mengalami perubahan. Situs yang tidak dilindungi mengalami penurunan, namun seringkali penurunannya lebih kecil dibandingkan situs dengan perlindungan terburuk.
Di 11 wilayah dimana populasi ikannya meningkat kembali, studi ini menemukan adanya penegakan peraturan MPAs yang memadai dan fluktuasi suhu permukaan laut yang lebih sedikit. Daerah dengan pemulihan yang buruk cenderung mengalami hal yang sebaliknya, dengan kurangnya penegakan perlindungan, lebih banyak aktivitas masyarakat di wilayah pesisir, dan lebih banyak anomali suhu.
Canty menyarankan agar masyarakat lokal, yang mata pencahariannya bergantung pada ikan dewasa, harus diberi peran lebih besar dalam pengelolaan MPAs. Memastikan bahwa MPAs ditempatkan di kawasan yang lebih terlindung dari perubahan iklim dan lebih mudah dikelola juga merupakan hal yang penting.
“Penegakan hukum berperan besar dalam keberhasilan beberapa bidang ini,” kata Canty.
Sementara, anggota tim Justin Nowakowski yang juga di Smithsonian Environmental Research Center berpendapat bahwa masih banyak yang belum diketahui tentang kawasan perlindungan laut.
“Jadi kemampuan melihat ke masa lalu untuk mengoptimalkan penempatan dan pengelolaan MPAs di masa depan sangatlah penting,” tutur Justin.

