DPR Akui Larangan Tayangan Eksklusif Jurnalisme Investigasi Gerus Demokrasi
Cerdas MemilihNewsHot
Redaktur: TVRI Jakarta Portal Team

Anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin. Foto Istimewa

Jakarta, tvrijakartanews.com - Anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin mengatakan larangan tayang eksklusif jurnalisme investigasi seperti termuat dalam RUU Penyiaran utamanya Pasal 50 B Ayat (2) butir c, dipandang memberangus kebebasan pers yang merupakan pilar keempat demokrasi. Beleid itu mengatur larangan media menayangkan konten atau siaran eksklusif jurnalisme investigasi, menuai protes dari Insan pers dan pegiat jurnalisme.

"Kita berbicara dalam hal investigasi ya, karena yang kami dapatkan, masuk itu bahwa investigasi jurnalis itu akan, kalau dilarang, sama dengan berangsur demokrasi," kata Hasanuddin di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 14 Mei 2024.

Meski begitu, menurut politikus PDIP itu, pers yang bebas tetap perlu kehati-hatian karena produk yang dihasilkan untuk kepentingan rakyat.

"Saya kira ada benarnya juga sih, tetapi tentu dalam kebebasan itu kita juga ada kehati-hatian untuk kepentingan masyarakat," tutur Hasanuddin.

Lebih lanjut, Hasanuddin juga menyoroti tumpang tindihnya aturan penyelesaian sengketa jurnalistik antara Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam beleid tersebut. Menurut dia, KPI khusus untuk sengketa penyiaran, sedangkan produk tulisan yang bermasalah diselesaikan di Dewan Pers.

Sengketa jurnalistik penyiaran itu diatur dalam Pasal 42 Ayat 2. Beleid itu memberi wewenang KPI sesuai aturan undang-undang, dan dalam Pasal 51 huruf E sengketa hasil keputusan KPI bisa diselesaikan lewat pengadilan.

"Begini, kita punya banyak pengalaman antara KPI, dengan Dewan Pers. Kalau KPI itu khusus untuk penyiaran, tapi kalau produk jurnalis yang umumnya, tulisan dan lain sebagainya itu ke Dewan Pers. Saya kira dikoordinasikan saja arah tugas KPI dengan tugas Dewan Pers," kata Hasanuddin.

Adapun alasan pelarangan konten eksklusif jurnalisme investigasi karena dianggap menggangu penyelidikan dan penyidikan aparat penegak hukum. Menanggapi alasan itu, Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), Ade Wahyudin, memandang hal tersebut sebagai sesuatu yang lucu. Seba, masing-masing instansi memiliki mandat dan fungsi masing-masing dan tidak saling berbenturan.

“Secara mandat berbeda. Polisi (diatur) berdasarkan UU Kepolisian dan pers berdasarkan UU Pers. Keduanya memiliki level setara, dan tidak seharusnya menegasikan,” kata Ade.

Dia juga menyatakan larangan jurnalistik investigasi sama saja membatasi kebebasan pers yang dijamin UU Pers. Ade mendesak DPR melakukan evaluasi terhadap draf RUU Penyiaran dengan mencabut pasal yang bertentangan dengan UU Pers.

Selain itu, ia meminta semua pihak harus membuka partisipasi publik untuk memberikan masukan-masukan terhadap penyusunan RUU Penyiaran.