PDIP Tentang RUU Penyiaran yang Larang Jurnalisme Investigasi
Cerdas MemilihNewsHot
Redaktur: TVRI Jakarta Portal Team

Ketua DPP PDIP, Djarot Saiful Hidayat saat menjelaskan Rakernas Ke-V PDIP yang akan digelar dua pekan lagi. Foto M Julnis Firmansyah

Jakarta, tvrijakartanews - DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menentang adanya pelarangan jurnalisme investigasi yang wacananya dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran. RUU tersebut sebelumnya juga ditentang berbagi pihak karena dinilai memberangus kebebasan pers.

"Tentang RUU Penyiaran, PDI Perjuangan mendorong supaya RUU Pemilu ini benar-benar tidak menghapuskan penyelidikan secara investigatif," kata Ketua DPP PDIP, Djarot Saiful Hidayat di Kantor DPP PDIP, Jakarta Pusat, Kamis, 16 Mei 2024.

PDIP, kata Djarot, menilai bahwa pers merupakan pilar keempat demokrasi. Oleh karena itu, seharusnya negara memberikan ruang kepada pers untuk menjaga demokrasi yang bersih.

"Jangan sampai karena ketakutan yang berlebihan kemudian pers dengan penyiaran negatif kemudian dilarang," tegas Djarot.

Sebelumnya, DPR RI berinisiatif untuk menggantikan UU Nomor 32/2002 tentang Penyiaran melalui revisi Undang-Undang. Dalam revisi itu ada aturan pembatasan lewat Pasal 50B ayat 2 butir c akan membelejeti independensi media dalam mengungkap fakta.

Alasan larangan ini karena jurnalisme investigasi dinilai dapat mengganggu proses penyelidikan aparat hukum. Namun, larangan jurnalisme investigatif itu dinilai justru berpotensi membatasi kerja jurnalis, dalam menyebarluaskan kebenaran kepada publik.

Ditolak Dewan Pers

Sementara itu, Dewan Pers menolak proses RUU Penyiaran yang sedang bergulir di badan legislasi DPR RI. Sebab, RUU itu dianggap menghilangkan hak kebebasan pers.

"RUU Penyiaran ini menjadi salah satu sebab pers kita tidak merdeka tidak independen dan tidak akan melahirkan karya jurnalistik yang berkualitas," kata Ketua Umum Dewan Pers , Ninik Rahayu saat jumpa pers di gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Selasa, 14 Mei 2024.

Ninik menjelaskan ada beberapa unsur yang menyebabkan RUU tersebut menghambat kebebasan pers, khususnya di dunia penyiaran. Pertama, lanjut dia, RUU ini menghambat insan pers Indonesia melahirkan karya jurnalistik terbaik lantaran adanya larangan membuat liputan yang bersifat investigatif.

"Ada pasal yang memberikan larangan pada media investigatif, ini sangat bertentangan dengan mandat yang ada dalam UU nomor 40 tahun 199 pasal 4. Karena kita sebetulnya dengan UU 40 tidak lagi mengenal penyensoran," kata Ninik.

Kedua, penyusuran RUU ini dinilai tidak melalui prosedur yang layak karena tidak melibatkan masyarakat untuk memberikan pendapat. Bahkan Dewan Pers merasa tidak dilibatkan dalam pembentukan RUU ini. Ketiga, kata dia, RUU ini membuat lembaga KPI mempunyai wewenang untuk menyelesaikan sengketa yang berurusan dengan pelanggaran pers di bidang penyiaran.

Menurut dia hal itu membuat kesan tumpang tindih kewenangan. Sebab, polemik dan sengketa yang berhubungan dengan pers seharusnya diselesaikan oleh Dewan Pers.

Hal tersebut juga, lanjut Nanik, bersebrangan dengan "ruh" dari Perpres nomor 32 tahun 2024 yang baru saja diteken Presiden Joko Widodo. Perpres ini mengatur soal tanggung jawab perusahaan platform digital dalam penyediaan berita jurnalisme yang berkualitas di Indonesia.

"Mandat penyelesaian karya jurnalistik itu ada di dewan pers, dan itu dituangkan dalam UU. oleh karena itu penolakan ini didasarkan juga, bahwa ketika menyusun peraturan perundang-undangan perlu dilakukan proses harmonisasi agar antara satu UU dengan yang lain tidak tumpang tindih," kata Ninik.

Jika RUU penyiaran ini terus bergulir dan akhirnya disahkan legislatif, Ninik melihat ada potensi media di Indonesia tidak akan kredibel dan independen dalam mengawal sebuah isu.

Karenanya, Ninik dan seluruh jajaran persatuan wartawan yang mewakili setiap paltform menolak keras bergulirnya RUU Penyiaran ini.