
Foto: Steph Stevens
Jakarta, tvrijakartanews - Sebuah studi inovatif yang dilakukan oleh para peneliti di K. Lisa Yang Center for Bionics MIT dan diterbitkan di Science Robotics memanfaatkan kekuatan cahaya untuk menstimulasi serat otot hasil rekayasa genetika dalam teknik yang disebut optogenetika.
Secara tradisional, para ilmuwan telah menggunakan rangsangan listrik untuk mengaktifkan otot secara artifisial pada individu dengan gangguan fungsi motorik. Meskipun stimulasi listrik fungsional (FES) telah memungkinkan kemajuan yang signifikan dalam bidang prostetik dan rehabilitasi, hal ini memiliki beberapa kelemahan besar. Sinyal listrik cenderung membuat otot cepat lelah dan tidak memiliki kontrol yang diperlukan untuk tugas-tugas tangkas seperti menggenggam benda atau memainkan alat musik.
Hal ini membawa kepada optogenetika, bidang mutakhir yang menggunakan cahaya untuk mengendalikan sel hasil rekayasa genetika. Dengan memasukkan protein peka cahaya yang disebut opsin ke dalam neuron tertentu, para ilmuwan dapat mengaktifkan atau menghambat sel-sel tersebut secara selektif hanya dengan menyinari sel tersebut. Meskipun optogenetika telah merevolusi penelitian ilmu saraf, penerapannya dalam mengendalikan otot masih relatif belum dieksplorasi hingga saat ini.
Melasnir study finds, tim peneliti MIT yang dipimpin oleh Guillermo Herrera-Arcos, berhipotesis bahwa menggunakan cahaya untuk menstimulasi otot melalui saraf tepi dapat memberikan kontrol yang lebih naturalistik dan tahan lelah dibandingkan dengan stimulasi listrik. Untuk menguji gagasan ini, mereka beralih ke strain khusus tikus yang direkayasa secara genetis untuk mengekspresikan protein peka cahaya channelrhodopsin-2 (ChR2) di neuron motorik mereka.
Dengan menggunakan platform stimulasi berbasis cahaya inovatif yang dapat menargetkan saraf tertentu secara tepat, para peneliti menguji teori mereka. Mereka menemukan bahwa dengan memodulasi lebar pulsa (durasi) dan frekuensi sinyal cahaya, mereka dapat mencapai kontrol kekuatan otot secara bertahap dengan akurasi yang luar biasa. Stimulasi optogenetik tidak hanya menghasilkan gaya maksimum yang lebih tinggi daripada stimulasi listrik tetapi juga memungkinkan peningkatan gaya yang lebih linier dan bertahap dibandingkan dengan aktivasi “semua atau tidak sama sekali” yang khas pada FES.
“Dengan FES, ketika Anda meledakkan otot secara artifisial dengan listrik, unit terbesar akan direkrut terlebih dahulu. Jadi, ketika Anda meningkatkan sinyal, Anda tidak mendapatkan kekuatan pada awalnya, dan kemudian tiba-tiba Anda mendapatkan terlalu banyak kekuatan,” kata Hugh Herr, seorang profesor seni media dan sains, salah satu direktur K. Lisa Yang Center for Bionics di MIT, dalam rilis media.
Jadi, apa yang membuat optogenetika lebih efektif daripada listrik untuk mengendalikan otot? Kuncinya terletak pada bagaimana sistem saraf secara alami merekrut unit motorik (pasangan fungsional neuron motorik dan serat otot yang dikontrolnya). Biasanya, otak kita mengaktifkan unit motorik yang lebih kecil terlebih dahulu untuk tugas-tugas rumit dan berkekuatan rendah, kemudian secara bertahap merekrut unit motorik yang lebih besar dan lebih kuat seiring dengan meningkatnya kebutuhan tenaga. Perekrutan yang teratur ini memungkinkan terjadinya pembangkitan kekuatan dalam rentang dinamis yang luas.
Sebaliknya, rangsangan listrik cenderung mengaktifkan unit motorik terbesar dan paling mudah lelah terlebih dahulu, sehingga menyebabkan kelelahan yang cepat dan resolusi gaya yang buruk. Optogenetika, berdasarkan stimulasi langsung neuron motorik, dapat memanfaatkan urutan rekrutmen berdasarkan ukuran alami. Hal ini tidak hanya mengurangi kelelahan tetapi juga memungkinkan kontrol gaya yang lebih presisi dan bertahap.
Untuk menangkap peningkatan kontrol naturalistik ini, para peneliti mengembangkan model komputasi yang dapat memprediksi hubungan non-linear yang kompleks antara stimulasi cahaya dan produksi kekuatan otot. Dengan menggabungkan faktor biofisik seperti dinamika opsin, sifat otot-tendon, dan rekrutmen unit motorik, model mereka membuka jalan untuk merancang sistem kontrol optogenetik loop tertutup.
Potensi penerapan teknologi ini sangat luas. Individu dengan kelumpuhan atau kondisi neurologis dapat memperoleh kembali kemampuan untuk melakukan tugas-tugas yang memerlukan keterampilan motorik halus. Kaki palsu bisa dibuat dengan gerakan yang lebih hidup dan tahan lelah. Otot yang dikontrol secara optogenetik bahkan dapat menggerakkan robot biohibrid generasi baru yang gesit.
Namun manfaatnya tidak berhenti di situ. Para peneliti menemukan bahwa platform stimulasi optogenetik mereka dapat membangkitkan kontraksi otot yang terkontrol selama lebih dari satu jam bukan prestasi kecil bagi makhluk yang bisa muat di telapak tangan.
Tentu saja, jalan masih panjang sebelum pengendalian otot optogenetik menjadi kenyataan klinis bagi manusia. Tantangannya termasuk mengembangkan metode yang aman dan andal untuk mengirimkan opsin ke saraf tepi manusia, merancang perangkat stimulasi optik nirkabel dan implan, serta menyempurnakan teknologi untuk kebutuhan masing-masing pasien. Namun berbekal bukti konsep yang inovatif ini, para peneliti kini memiliki jalur yang lebih jelas ke depan.
“Hal ini dapat mengarah pada strategi invasif minimal yang akan mengubah keadaan dalam hal perawatan klinis bagi orang yang menderita patologi anggota tubuh,” Herr menyimpulkan.

