Sistem Hukum di Tanah Air Dianggap Sudah Rusak, Mahfud Harap Prabowo Bisa Perbaikinya
NewsHotAdvertisement
Redaktur: TVRI Jakarta Portal Team

Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD. Foto Istimewa

Jakarta, tvrijakartanews - Mantan Menteri Koodinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD berharap rusaknya sistem hukum perundang-undangan yang terjadi saat ini masih bisa diperbaiki oleh pemerintahan berikutnya, yakni Presiden Terpilih periode 2024-2029, Prabowo Subianto dan Wakilnya, Gibran Rakabuming Raka.

Sebab, menurut Mahfud, jika kerusakan sistem hukum itu diperbaiki dan ditegakkan dengan benar-benar, bisa berdampak positif bagi pemerintahan ke depannya.

Hal itu disampaikan Mahfud dalam menanggapi putusan Mahkamah Agung (MA) yang mencabut Pasal 7 mencabut Pasal 4 ayat 1 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020 karena dinilai aturan itu bertentangan dengan Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

"Saya masih punya harapan. Mudah-mudahan kalau sudah dilantik, Pak Prabowo melakukan perubahan-perubahan yang bagus begini karena itu akan membantu bagi pemerintah akan membantu bagi Pak Prabowo, kalau hukum itu ditegakkan dengan benar," kata Mahfud dalam Podcast "Terus Terang" dikutip melalui kanal YouTube Mahfud MD Official, Kamis (6/6/2024).

Namun sebaliknya, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UII) Yogyakarta itu menekankan, bila kerusakan hukum dibiarkan tanpa perbaikan oleh pemerintahan berikutnya, akan berlaku hukum rimba dalam proses penegakkan hukum di Indonesia.

"Untuk memperbaiki, kita berharap bisa memulai dengan itu. Kalau ndak, ya rusak ke depan. Akhirnya menjadi negara hukum rimba ya," ujar Mahfud.

Sebelumnya, Mahfud menilai hukum di negara ini sudah dirusak karena dijalankan dengan keliru.

"Negara ini cara berhukumnya udah rusak dan dirusak, sehingga saya malas bicara yang kayak gitu-gitu," kata Mahfud.

Meski begitu, Mahfud mempersilahkan, para penguasa mengutak-atik hukum di Indonesia agar kerusakannya semakin parah. Namun, ia mengingatkan, suatu saat nanti kerusakan dalam penerapan hukum itu bisa saja menjadi bumerang.

"Biar aja tambah busuk, pada akhirnya ke busukan itu akan runtuh sendiri kan suatu saat. Kalau yang begini-gini, terus-terusan ya sudah, silakan aja apa yang mau kau lakukan, lakukan aja mumpung Anda masih punya posisi untuk melakukan itu," ucap Mahfud.

"Tapi, suatu saat itu bisa akan memukul dirinya sendiri ketika orang lain menggunakan cara yang sama. Ya yang juga untuk melawan kepentingan orang yang suka begitu," sambung dia.

Berkaitan dengan putusan MA nomor 23 P/HUM/2024 itu, Mahfud menilai putusan itu salah. Sebab, MA memutuskan atau membatalkan satu isi peraturan KPU yang sudah sesuai dengan Undang-Undang.

"Menurut saya putusan MA ini salah," ucapnya.

Mahfud lantas menjelaskan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota itu. Dalam beleid Pasal 7 Ayat 1 berbunyi, setiap orang berhak mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai calon kepala daerah.

Lalu Ayat 2-nya, memuat sejumlah persyaratan seseorang yang ingin menjadi calon atau mencalonkan diri sebagai kepala daerah pada Pilkada.

Pada Pasal 7 Ayat 2 butir e, lanjut Mahfud, mensyaratkan seseorang yang ingin mencalonkan diri sebagai calon gubernur dan wakil gubernur, harus berusia minimal 30 tahun. Sementara, seseorang yang ingin mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota, minimal usianya 25 tahun.

Dengan demikian, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UII) Yogyakarta itu pun dibuat heran dengan putusan MA. Sebab, ia menilai tak ada aturan KPU yang bertentangan dengan Undang-Undang tersebut.

"Nah, ini tiba-tiba dibatalkan, katanya bertentangan. Lho bertentangan dengan yang mana? Kan peraturan KPU sudah benar. Oleh sebab itu, kalau memang itu mau diterima putusan Mahkamah Agung berarti dia membatalkan isi Undang-Undang," kata dia.

Padahal, menurut Mahfud, MA tak berhak melakukan judicial review atau membatalkan isi Undang-Undang.

Dia mengatakan, isi undang-undang bisa dibatalkan melalui legislatif review, yaitu diubah oleh lembaga legislatif atau judicial review oleh Mahkamah Konstitusi, bukan Mahkamah Agung. Kemudian, apabila dalam keadaan darurat bisa diubah melalui peraturan perundang-undangan (Perppu).

"Jadi ini, jauh melampaui kewenangan MA. Saya khawatir ya, jangan-jangan hakim (MA) ini tidak baca," imbuh dia.

Sebagai informasi, Mahkamah Agung meminta Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) mencabut aturan syarat usia calon untuk pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang tertuang di dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020.

Permintaan ini dilayangkan setelah pihak MA mengabulkan gugatan yang diajukan oleh Partai Garuda, dengan perkara nomor 23 P/HUM/2024 terkait batas usia calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota.

Dalam amar putusannya, Mahkamah Agung mengubah ketentuan yang awalnya calon kepala daerah berusia 30 tahun terhitung dari saat penetapan calon, kini terhitung setelah pelantikan calon.

Berikut ini bunyi PKPU Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU Nomor 9 Tahun 2020.

"Berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak penetapan Pasangan Calon," bunyinya.

Namun, ketentuan PKPU diubah oleh MA dengan alasan aturan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yakni Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

"Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil wali kota terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih," bunyi putusan MA tersebut.